Khamis, 28 November 2019

#cerpenkeren


MUSIM NGACO
Part 1
Miskin Tingkat 1
                Siang terik. Kunyalakan kipas angin di atas meja kamar kos sampai angka terbesar. Alhasil angina meniup dengan kencang. Tetap tidak mengurangi hawa panas yang menyengat ini. Lama-lama kegerahan tidak mampu menahan kantuk ku. Semilirnya kipas angin dan mata yang mulai sayup membuat beberapa detik kemudian, aku berada di dunia lain. Nyaman, dingin, mewah, ber AC dan…
                “Brak!! Alien… gue pinjem bedak ama make up lu!”
Dunia yang tadinya nyaman senyaman-nyamannya langsung sirna. Kekagetanku menimbulkan pengaruh buruk. Mataku terjaga dan melihat sosok si Vina teman kamar sebrang sudah asyik membuka laci meja ku. Aku menghela nafas kesal. Tapi itulah Vina. Mahluk seksi di sebrang yang hobi make up tapi nggak modal alias ‘gembel’ sok ‘centil’.
                “Woe… make up sih pake aja. Tapi bisa nggak masuk ketuk pintu atau pelan-pelan. Ni gue baru mo mimpi lu tereak..”
Vina dengan wajah innocent nya senyum-senyum saja. Dasar! Aku menggaruk-garuk kepalaku sambil dengan malasnya cuci muka lalu lihat jam dinding di ruang tamu kos. Ha!!!! Ini pukul 14.00. Artinyaaaa… ada kuliah jam ini. Aku lari sekencang-kencangnya masuk kamar dan mendapati si Vina masih nyolek-nyolek mukanya pakai apa namanya itu… entahlah kosmetik apa itu. Begitu aku menyambar sisir di dekatnya dia terkejut bukan kepalang.
                “heh… kok lu disini nggak bilang-bilang. Bikin jantungan!”
Busyet! Perasaan aku yang punya kamar, punya hak prerogative. Kenapa diomelin. Bodo amet lah, saatnya ngebut ke kampus daripada ngulang semester depan. Aku menyambar kemeja di lemari dan buru-buru pakai celana jeans belel serta seperlunya ngaca. Lalu tanganku sibuk memasukkan binder note dan HP ke  ransel butut di kursi. Masih terasa tangan Vina menahanku.
                “heh! Dandan dulu kek…”
                “Sorry, gue buru-buru. Dandan nggak akan nyelametin gue semester ini kalo ampe nggak lulus.”
Vina geleng-geleng kepala.
                “Ya udah ati-ati. Jangan selebor lu… ntar kesandung batu tetep telat kuliah. Jangan lupa tutup pintu kamar lagi.”
                “What?”
Aku masih heran dengan mahluk gila itu. Bisa-bisanya aku diusir dari kamarku sendiri. Padahal..
                “halah… pake ngelamun…cepet sana! Telat ntar!”Hh… gila..gila..gila. siang yang aneh setiap hari. Aku lari ke kampus seperti kesetanan. Sampai di ruang kuliah aku bernafas lega karena dosen belum datang. Resikonya pasti duduk depan dan nggak bisa sambil merem-merem dikit. Pasti kelihatan. Haduhhh…nasib memang sial!
                Usai kuliah perutku nyaring berbunyi. Minta jatah. Terpaksa sambil pulang kuliah mampir warung. Ku raba uang di saku celana. Satu lembar 10 ribuan dan selembar 2 ribu an. Itu uang akhir minggu ini. Sementara jatah mingguanku masih 2 hari lagi. Ah..persetan! Di warung aku langsung pesen makanan.
                “Mbak…”
                “Udah tahu. Duduk aja.”
Aku masih mau nunjuk menu si mbak nya langsung melayani. Hebat, ya… saking hapalnya menu sehari-hari ku si Mbak sangat cekatan melayani.  Mataku langsung hijau melihat ada yang mau datang ke warung. Mataku juga langsung menatap menu di situ yang paling premium. Saatnya menikmati makan siang mewah!
                “Mbak, hari ini pake sayur lodeh, semur daging, sama acar kuning.”
Si Mbak terperanjat sejenak. Selanjutnya bisa ku tebak ia menepuk jidat. Dalam pikirannya menyesal telah melayaniku. Karena ujung-ujungnya pasti … Ngutang.
                “tenang Mbak.. hari ini saya bayar. Ada juragan mau datang..”
Aku dengan PD nya menanti seorang lelaki bermata sipit dan berpenampilan layaknya pejabat itu masuk warung.
                Aku melahap isi piring ku ketika si lelaki itu sampai di warung dan duduk di sampingku sambil menjewer kupingku.
                “Heh…dicariin ke kos an, ke kampus, enak di mari.”
                “laper banget Nest… untung ada lu.”
Ia menepuk jidatnya melihatku kesetanan menyantap menu termewahku sepanjang minggu ini.
                “Enak aja…siapa mau bayarin..”
                “Nest… plis. Udahlah… biarkan gue makan sebentar. Lu diem situ. Pesen kek apaan.”
Ernest mendengus kesal sambil mainin HPnya.
                “Alien…serius. Gue ada perlu. Nitip sesuatu. Plis…nggak usah basa basi.”
Aku mengangguk cuek sambil terus mengunyah makanan. Biar cacing-cacing dalam perutku tidak lagi berbunyi nyaring.
                “Alien…sabtu lu pulang. Jagain bokap. Bokap sakit. Gue nggak bisa balik minggu ini. Ada project. Duitnya lumayan.”
Aku berhenti mengunyah. Sinting! Lelaki mirip koko-koko di glodok ini kakak ku. Ernest Yoga Wibadsu. Wajahnya oriental dengan kulit putih bersih dan berkacamata. Persis orang tionghoa. Dandannya rapi dan duitnya banyak. Mangkannya dia andalanku saat genting seperti sekarang.
                “Nggak tanggung jawab lu, Nest. Kan jatah situ minggu ini. Ntar balik dari bokap setoran ke gue.”
Ernest mencibir. Masih nggak mau rugi dengan bisnisnya. Masih sambil chatting.
                “Nest…gue nggak ada duit buat pulang….abis ini gue mau ke rumah lu….minjem dulu.”
Tak lama kemudian si Ernest mengeluarkan lembaran merah.
                “Gue nggak mau rugi. Pokoknya lu pulang sabtu. Gue kasih cepek. Tapi syaratnya lu bilang pengen pulang dan jangan bawa-bawa bisnis gue ke bokap. Plis.”
Seketika mataku hijau kembali. Gampang..tinggal bilang kangen bokap aja…yang penting ada sedikit pencerahan dalam minggu ini dengan selembar merah yang berharga itu. Aku melanjutkan makan sambil minum segelas es the manis yang benar-benar segar. Ernest sudah mau beranjak dari warung ketika aku ingat sesuatu.
                “Nest, bayarin makan gue!”
Ernest tidak berhenti dan menoleh sedikitpun kecuali teriakannya
                “Udah gue bayar!”
Aku menghela nafas lega. Akhirnya makan enak dengan sisa uang 12 ribu. He he.. rejeki memang siang ini.
                Sabtu yang menyenangkan. Aku sudah duduk di KRL dan sebentar lagi sampai rumah. Terasa bahagia meski hidupku sederhana. Ameliorasi dari miskin. He… he.. Aku adalah Adrenalien. Adrenalien Neurilemma Innasty. Putri kedua bokapku. Seorang pensiunan angkatan darat berpangkat rendah bagian perhubungan. Kerjaannya ngurusin HT dan bermacam-macam media sosial masa lampau. Anaknya Cuma 2 orang. Aku dan Ernest. Entah kenapa kami berdua terlahir dengan 2 dimensi yang berbeda. Ernest mirip orang tionghoa bermata sipit hampir merem dengan perawakan tinggi kulit putih danrambut berdiri tegak dan rahang kokoh. Sementara aku mirip orang-orangan di patung hiasan rumah yang tidak tinggi, kulit langsat mata coklat, dan rambut kemerahan lurus. Kata orang-orang aku mirip ibuku Almarhum. Ia mirip eropa dengan kulit putih dan rambut pirang asli. Cuma mata almarhum ibuku kehijauan, benar-benar mirip boneka plastik yang bisa diputar kepalanya. Padahal, ibu bapak ku asli orang Jawa Timur. Tepatnya kota Tahu, Kediri. Ibuku lahir dari seorang berketurunan priyayi yang menjunjung tinggi bibit bobot bebet. Sedangkan bokap lahir dari seorang petani miskin di pelosok yang mencoba peruntungan di dunia militer dengan gaji kecil karena Cuma lulus SMA. Dua alam. Hubungan mereka tidak ditentang keluarga inti, tapi diremehkan oleh keluarga besar ibuku. Mereka selalu membedakan status dalam keluarga kami dan mereka. Mereka selalu mengejek kami yang bermuka beda ini dengan mengatakan kami lahir dari keturunan orang asing yang menjajah Indonesia. Padahal, kalau masalah keren-keranan, kami lebih keren. Zaman sekarang. Dulu kami merasa terkucilkan. Kalau ada hajatan, kami berasa dari planet yang berbeda. Mereka dengan perhiasan lengkap, baju-baju rumbai-rumbai dan baru. Sementara aku dan Ernest bahagia dengan baju lama kami kaos, celana sepatu dan kaos kaki. Mereka menjauhi kami yang asyik makan tanpa malu-malu. Kami merasa santai saja. Cuma bokap sering melarang kami ikut hajatan keluarga. Alasannya ada-ada saja. Bilang kami lagi belajar, pilek, bahkan bilang kami lagi nggak suka diajak pergi. Kami hanya cuek saja. Ibuku memilih membawa kami jalan-jalan sekitar rumah dan mengenalkan kami pada anak-anak tetangga yang lebih sosial, lebih asyik. Akhirnya kami puas dengan kehidupan sekitar. Bukan kehidupan keluarga besar yang senewen itu. Bokap yang sering tugas membuat kami biasa menjadi anak mandiri yang saling berbagi tugas. Aku yang selalu disuruh-suruh dan Ernest memimpinku. Menjadi mandor. Herannya aku nurut saja. Waktu kecil. Ternyata sampai sekarang Ernest memang bos dan aku anak ingusan yang tergantung dia.
                Waktu kami kecil, bokap dipindah tugaskan ke Bandung. Akhirnya kami pindah ke kota Priangan itu. Logat jawa kami tidak pernah luntur, meski sudah fasih berbahasa Sunda. Di usia kami remaja, Bokap pension dini karena kondisi. Sementara ibuku meninggal dunia dalam perjuangannya melawan kanker rahim. Bokap yang depresi memilih pension dini dan tinggal di kota hujan, Bogor. Kota yang tidak jauh dari ibukota itulah yang membesarkan kami, hingga aku dan Ernest bisa kuliah di ibukota dengan jalur PMDK. Tak ada yang menyangka kalau melihat kami sekilas, bahwa kami keturunan Jawa tulen. Baru kalau kami bicara semua akan jelas. Karena kemedokan logat kami tidak bisa menipu. Waktu kecil, Bokap selalu dilihatin orang kalau mengajak kami jalan-jalan. Bokap berkulit kecoklatan dengan wajah ABRI nya menggandeng anak-anak seperti aku dan Ernest. Mungkin dikiran nyulik anak orang. He he..
Sampai di rumah, aku mendapati Bokap sedang asyik menyiram tanaman-tanamannya, yang menjadi pendapatan hidup selama ini. Matanya menatapku senang.
                “Katanya sakit, Pak?”
Bokap tertawa kecil
                “Sakit masa tiduran…”
Aku menjabat tangannya dan langsung ke dapur. Mendapati nasi masih ngebul dan ikan goreng yang wangi krispi hasil empang belakang. Yang namanya kelaparan harus dilawan. Aku melahap habis makanan di piring. Sementara bokap duduk di depan ku sambil geleng-geleng kepala
                “Mbok ya dipikirin Nduk, Mas mu ntar belum datang…”
Aku berhenti mengunyah makanan dan komentar dengan santai
                “Nggak bakal dateng dia, pak. Sibuk…”
Bokap tertawa membahana sambil mencomot sepotong pisang goreng.
                “Mas mu itu memang aneh. Siapa yang dia tiru, jiwa kok bisnis. Tapi masih mendingan lah…daripada kamu. Sastrawan amatir. Ngrepotin mulu..”
Aku tersenyum masam. Rasanya hampir dapat piring yang ngomongin kami dua dimensi. Si Ernenst dengan bisnisnya, lulus kuliah ekselerasi, beli rumah sendiri. Bokap saja heran bukan kepalang, kalau ditanya uang kuliah dipakai apa, jawabnya singkat. Bisnis. Giliran aku hanya mahasiswa sastra yang miskin, ngandelin kiriman ortu, kadang ngandelin honor dari majalah. Itupun sangat tidak pasti. Bokap yang terlihat sehat wal afiat malah asyik ngrawat tanaman dan ikan di empang, sementara aku dengan santainya menikmati hidup seharian di kamar dengan segala keikmatan duniawi berupa makanan semeja penuh. Tidur dengan tenang tanpa diganggu apapun. Tapi hidup memang masih panjang.


Part 2
MIskin Tingkat Dewa
                Hari Senin aku sdudah kembali ke kos an. Rasanya hidup kembali sulit. Apalagi sekarang musim lagi ngaco-ngaconya. Harga serba tinggi. Kuliah hampir tiap hari. Ernest yang sombong itu pun tidak ada kabarnya. Aku hanya menjalani aktivitasku rutin di kampus. Pulang. Ke kos. Nulis artikel, nulis novel, nulis cerpen. Sampai akhir minggu kembali aku melihat isi dompetku. Tinggal 10 ribuan dan receh tiga keeping gopek an. Padahal, ini masih hari Sabtu. Mau minta bokap lagi, sungkan. Bokap sudah susah payah berobat sendiri. Tidak pernah mengeluh. Hanya satu andalanku. Ernest. Iya, enggak. Iya enggak. Harga diriku tiba-tiba melambung tinggi di awan. Sungguh memalukan.
                Dengan menahan gengsi, aku memasuki gerbang rumah Ernenst. Seluruh pandanganku kabur. Motornya nggak ada. Tapi pintu kelihatan tidak dikunci. Jendela terang. Gorden terbuka lebar. Berarti dia ada. Masuk ke ruang tamu aku dikagetkan dengan ruangan baru. Bukan ruang tamu yang kudapati. Tapi sederetan meja kerja dengan masing-masing ada PC dan printer. Ini rumah, apa kantor? Aku terdiam dan langsung berfikir cepat. Ini mungkin bisnis barunya si Koko itu. Salah satu anak buah Ernest menyambutku ramah.
                “Mbak tunggu. Bang Ernenst lagi keluar. Mau minum apa?”
Aku yang jalan kaki ke rumah ernest karena ngirit langsung nyerocos bahagia
                “Air, sirop, es batu. Buahnya yang segeran ya…anggur merah.”
Si Mas itu melongo dan langsung ke belakang minta tolong seseorang.
                Menegak es sirop dengan sepiring semangka membuatku kembali cerah ceria. Anggur masih belum berbuah katanya. Emang si bos yang emounya aja yang pelit. Sofa yang empuk dan hawa AC yang dingin membuat mataku enggan terbuka. Belum sempat merajut mimpi, aku dikejutkan datangnya Mahluk gila. Ernenst.            “Enak aja nikmatin kerja keras gue, Lu ya…”
Aku mendengus kesal. Kalau bukan kakak ku, entah bagaimana dia.
                “Nest..”
                “Hm…”
                “Jadi gini…”
                “ngapa..”
                “Nest… ngomongnya gimana ya..”
                “Langsung aja..”
                “Ehm…”
                “Mo minta duit.??”
Aku melotot.
                “Minjem.”
Aduhhh…harga diriku benar-benar runtuh. Meskipun miskin, tapi harga diri nomor satu. Aku nggak bisa merendah di depan makluk satu ini.
                “Ini…gue kasih. Lu sih, dibilangin ikut gue bisnis, malah mikirin jadi sastrawan yang nggak jelas ujungnya.”
                “jangan bawa-bawa profesi gue. Nest, plis, gua minjem.”
Ernenst terbahak.
                “Gini aja gue kasih 200 ribu. Lu bawa aja. Tapi lu ikut kerja ama gue.”
Aku terperangah. Malas rasanya menanggapi Ernenst si sombong yang makin congkak itu. Biarpun miskin, aku masih punya harga diri.
                “Sorry. Gue minjem aja. Gopek. Serius, kalo novel gue dimuat gue balikin..”
Ernest terbahak.
                “Tahun berapa? Heloo… “
Aku menahan amarahku. Tapi bagaimanapun aku sedang butuh uang. Butuh banget. Buat hidup. Biarin Ernenst ngeledek berkali-kali. Tapi rasa gengsiku lebih besar saat ini. Yang penting intinya tetap dengan idealism ku. Miskin miskin juga hidup saya sendiri…
                Ernenst tereak dari rumahnya meneriakiku yang pulang tanpa permisi. Aku ngeloyor pulang dengan muka masam. Bodo amat. Mataku juga jengah melihat Rasanya sekarang dunia sudah tidak berpihak lagi padaku. Hancur harapanku. Tinggal satu-satunya novel di laptop yang jadi andalan hidupku.
                Dengan kepala setengah kliyengan, aku tiduran di kamar kos dan menikmati tidur siang supaya cacing-cacing dalam perutku tidak berteriak-teriak. Solusinya adalah minum air putih sebanyak-banyaknya yang gratis di kosan. Beres. Mimpiku siang ini sangat istimewa, makan enak di sebuah restoran mewah dengan menu-menu pilihan. Belum lengkap rasanya kebahagiaan itu, aku dikagetkan suara nyaring ditelinga
                “Alien……! Bangooon!”
Mataku mengintip sebelah. Yang kudapati kepala yang dekat sekali dengan mataku. Kepala itu melotot tajam. Gila! Si Vina. Aku buru-buru bangun. Masih mengusap-usap mataku yang enggan terbuka. Aku menguap lebar.
                “Alien, lu cepetan bangun. Itu sekampung pada nonton mobil TV di bawah. Nungguin lu!”
Aku yang masih di dunia lain mengernyitkan dahi bingung. Apa maksudnya?
                “Ngapain gue?”
                “Udah… lu bangun. Itu stasiun TV Mau jemput lu. Gue juga nggak tahu!”
Aku mencubit tanganku. Ini mimpi kali…
                Masih berpakaian ala kadarnya. Sendal jepit. Kaos oblong dengan jelana jeans, aku buru-buru keluar kamar. Vina menahanku.
                “Alien, lu emang nggak usah dandan. Nggak perlu make up udah keren tapi paling nggak bedakan dikit ama pake parfum. Lu mau ke stasiun TV. “
Aku menggeleng kuat
                “Nggak perlu. Gue mau nanya ada apa dengan gue..”
Vina nggak peduli kalimat bantahanku, langsung diseret aku ke kamar lagi. Disuruh duduk. Dibedakin tipis. Pakai lip tin pink muda dan dipaksa pakai snikers putih di tempat sepatuku. Parfum wangi bunga setaman disemprotin. Aku bersin-bersin. Apaan ini… seumur-umur rasanya nggak pernah pake wangi parah beginian. Nenek sihir jahat! Aku keluar diantar Vina. Rasanya mukaku lebih tebel dari diktat kuliah. Di bawah aku langsung disambut seseorang yang katanya dari TV swasta dan memintaku ikut dengannya karena ada Mou denganku. Aku nurut saja. Di mobil tersedia bermacam cemilan enak. Crackers. Wafer. Kripik kentang. Minuman ringan dan buah sekeranjang besar. Aku duduk sambil kebingungan. Ada masalah apa aku sampai diculik stasiun TV di sisng bolong begini. Mungkin ada yang salah. Atau aku dapet lotre berhadiah. Ah!
                Sesampainya di stasiun TV aku dibawa masuk ke ruang redaksi. Dinginnya 5x AC rumah Ernest. Gila! Ini kulkas kali. Aku langsung berhadapan dengan seorang wanita dengan kulit putih meke up tebal dan dandanan elegan. Seperti model.
                “kak.. selamat ya, naskah Anda kami pilih untuk digubah menjadi sinetron.”
Aku melongo. Naskah? Siapa yang ngirim naskahku? Naskah yang mana? Dijadiin sinetron? OMG! Apa-apaan ini. Idealismeku muncul kembali.
                “Maaf, tapi saya nggak ngerasa ngirim naskah, Bu. Naskah orang lain mungkin. Salah orang.” Sergahku. Wanita itu menunjukkan sesuatu padaku. Kertas putih bukti pengiriman naskah atas namaku. Mataku nanar menatap bukti pengiriman itu dan aku langsung melonjak. Ini pasti ulah si Ernest. Kenapa dia tidak Tanya-tanya padaku dulu? Maen ngirim. Hanya dia yang punya akses masuk kamar kos ku dan membuka-buka laptopku. Dia pikir dengan begini aku akan terbebas dari kemiskinanku. Sementara dia dapat untung dari marketingnya. Sialan!
                “maaf bu. Saya nggak menjual naskah saya untuk dijadikan sinetron. Saya hanya menjual naskah saya pada penerbit. “
                “Tapi kami akan bayar mahal naskah Anda.”
                “maaf, saya nggak bisa. Permisi.”
Segala duniaku berbalik. Ernenst bener-bener keterlaluan. Aku meluncur ke rumahnya. Kebetulan si koko sedang santai di sofa sambil main gadgetnya.
                “Nest..”
                “Hm..”
                “Ernest!!”
                “Iya. Berisik!”
                “ngapain lu lancang!”
                “Biar lu cepet kaya!”
                “Bukan urusan lu!”
                “Biarin.”
                “nest…”
                “Hoe!”
                “Lu udah gila!”
                “Lu yang bego!”
                “Bego gini adik lu.”
                “gue kakaknya orang bego!”
                “nest gue serius.”
                “Gue udah serius sejak lahir.”
                “kenapa lu nggak izin gue ngirim naskah ke TV?”
Ernest terbahak. Ia mengacak rambutku.
                “karena lu adek gue.”
                “Lu ..ah, lu nggak tahu. Naskah itu bukan buat jadi sinetron.”
                “Trus?”
                “Jadi buku. Jadi bacaan di blog. Udah.”
                “Trus dikembaliin penerbit? Dibilang jelek? Lu terima? Kalo gue enggak!”
                “Tapi ..”
Ernest merangkulku. Seluruh jiwaku runtuh. Tangisanku tak terbendung lagi.
                “Lien, lu harus sadar. Tulisan lu bagus. Harus diapresiasi. Gue nggak tahu caranya. Ya gue kirim aja ke TV. Kali aja bisa. Eh, bisa kan?”
Aku menggeleng pelan.
                “Bukan jadi sinetron, Nest. Nilai tulisan gue jadi berkurang banyak.”
Ernenst menghela nafas panjang.
                “tuh..bokap dateng. Katanya mo ngomong ama lu.”
Aku menatapnya heran. Kenapa bawa-bawa bokap segala. Aku menemukan bokap berdiri di depan pintu kamar dan langsung memeluknya. Ernenst memang kurang ajar. Masih dengan segala kesombongannya mengalahkan aku yang lemah. Sementara bokap malah berpihak padanya.
                Pulang dari rumah Ernenst aku lunglai. Apa dayaku menghadapi si koko yang di otaknya hanya bisnis itu.  Biarin aku dengan  kemiskinanku. Biarkan saja. Aku pulang ke kos an dengan perasaan tidak karuan. Si Vina menyambutku dengan bahagia. Dia tidak akan tahu apa yang terjadi.
Part 3
Musim Berganti
                Seharian kerjaanku hanya mengeluh di laptop alias keluahan-keluhanku jadilah sebuah novelet sepanjang 56 halaman. Setelah itu aku ketiduran sampai malam. Aku terbangun karena ada bau-bau sedap menghujam hidungku. Bau semacam makanan enak di sebelahku. Aku terlonjak kaget mendapati Bokap sudah duduk di tempat tidur sambil baca buku. Bokap?
                “Bangun. Itu Bapak bawain martabak telor. Ernest lagi ngurus percetakan kamu.”
Aku ternganga-nganga.
                “Ernest ?”
Bokap menangguk santai sambil kembali menikmati bacaan ditangannya. Itu lah kesamaanku dengannya. Hobi baca. Cuman kalo Bokap baca berita dan bacaan ilmiah. Aku suka baca novel detektif. Pembunuhan berdarah-darah.
                “Dia mau ke Australi bulan depan, Lien. Ada bisnis baru katanya. Dia minta kamu menjaga kotak bludru itu.”
Aku menatap kotak di meja. Kotak apa gerangan? Penasaran aku langsung buka kotak beludru itu. Isinya membuatku terpana. Barang berkilauan itu bersinar sempurna. Aku terkejut bukan kepalang. Berlian. Berli…an. Ernenst bukan lagi kurang waras. Tapi benar-benar gila! 100%. Gila. Kalau sampai ada orang jahat, atau ada mafia menangkapku di kampus siang bolong. Aku diculik dan dibunuh… Ngeri! Sungguh ngeri. Rasanya ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau-kalau berlian itu ada di tanganku.
                “Apa isinya?”
Tanya bokap penasaran.
                “Bom. Bom atom, Pak.”
Bokap tertawa. Mungkin pikirnya aku becanda. Itu makna kiasan dari ledakan bahaya jika benda keramat nan mewah itu masih ada di kamar kos ini.
                “Pak, itu barang berharga yang kalau ditaruh sini sangat berbahaya. Akan ku kembalikan sama Ernest.”
Bokap menahanku.
                “Apa sih Nduk? Berlian?”
Aku melongo tak percaya. Bokap tahu semua. Mungkin idenya bokap. Aku manyun.
                “Berlian itu bisnis kakakmu. Sekarang dia mau urusin bisnis calon istrinya.”
Istri? Ernest bukan lagi gila. Tapi stress tingkat dewa. Calon istrinya bisnis berlian. Tante-tante …ough… aku makin ngeri membayangkan masa depan kakakku satu-satunya. Tiba-tiba rasa kasihan membahana di jiwaku.
                “Kasihan si Ernest ya Pak.”
Bokap menatapku.
                “kamu yang kasihan. Kuliah tinggal sejengkal lagi. Kamu masih begitu saja hidupnya.”
Aku tersenyum masam. Ini. Ini yang tidak kusukai. Orang hanya memandang Ernest seorang. Tidak pernah melihatku. Seolah-olah aku ini benalunya Ernest. Sementara kakakku adalah tokoh utama di setiap cerita.
                Bokap menatapku lama. Mungkin dia pikir aku sedih. Maaf. Aku hanya heran. Kenapa kehidupan seniman selalu sederhana alias miskin. He he…beda dengan hidup orang-orang seperti Ernest. Koko koko gedungan yang tiap omongannya didengarkan customernya.
                “kakakmu itu sayang sama kamu, Lien. Tadi Dia bilang akan urusin percetakan buku. Bisnis baru yang katanya fasilitasi kamu yang hobi nulis.”
Aku makin heran dengan nasibku yang berubah 360 derajat. Percetakan? Buatku? Si Ernest ?Apa lagi ini???
                Malam-malam aku nggak tahan untuk nganter bokap ke rumah Ernest sekalian memperjelas kegilaannya selama ini padaku. Lebih gila lagi aku melihat mobil baru terparkir di depan rumahnya. Ernenst memang sosok misterius penunggu petilasan mungkin. Ghaib. He he…
                “Eh…masih mau ke rumah gue, Lu.”
                “Nganter Bokap.”
                “E…bukan mau nanya-nanya gitu.”
Aku melotot. Pancingannya kena juga
                “sebenarnya kamu habis imunisasi ya? Kok makin waras..”
                “Maksudnya..?”
belum selesai bicara seseorang yang wangi, tinggi, cantik, bening, sampai lalatpun akan terpeleset kalau lewat di wajahnya menampakkan dirinya. Aku makin ternganga-nganga.
                “Kenalin, Evelin. Calon gue. Cantik, kan?”
Aku melongo lagi. Kirain calonnya Ernest itu tante-tante. Ternyata wanita sempurna ini. Terus…berlian itu?
                “Nest. Maaf ya. Gue nggak mau nyimpen benda keramat itu. Plis. Gue masih mau hidup. Itu berlian bahaya. Ntar kalo kita semua dibunuh mafia?”
Ernest terbahak.
                “Lu banyakan nonton film. Nggak bakal kenapa-kenapa. Itu berlian bakal gue ambil pulang dari Australi. Cuma lu yang gue percaya. Abis itu kita bebas. Kamu tinggal banyak nulis aja. Percetakan gue udah siapin. Tinggal gue marketingin buku lu ke klien-klien gue di negeri ini. Beres. Lu kuliah. Lulus. Urusin percetakan. Urusin Bokap. Gue mau terbang ke luar. Setelah nikah.”
Wanita itu tersenyum padaku. Benar-benar sempurna hidup Ernest. Dan makin malu aku dibuatnya. Rupanya dibalik keisengannya dan kesombongannya Ernest masih peduli padaku. Syukurlah.
                Enam bulan berlalu setelah peristiwa rahasia itu. Aku sudah mulai mengakhiri skripsiku juga. Paket akselerasi kupakai untuk menghemat biaya. He he.. Aku menghela nafas lega. Saat ini aku akan pindah kos an. Seluruh isi kos menatapku baangga. Di ruang tamu kos an ada tamu. Kata teman-temanku ada Jet li. Aku terbahak menyadari yang datang adalah Ernest. Mereka tertegun dan melongo saat tahu mahluk mirip Jet li itu adalah kakak ku. Yang parah Vina dengan argumentasinya yang menyakitkan sebelum tahu semuanya.
                “Alien, jangan bilang yang di ruang tamu bawah itu gebetan lu. Gue tahu lu sebenernya cakep.”
                “Dari lahir.”
Jawabku sambil asyik packing barang-barang. Mo pindah ke rumah Ernest, karena mahluk gila itu akan tinggal dengan istrinya di perumahan elite di dekat samudra Jakarta sana.
                “Tapi lu selebor. Nggak pernah dandan yang keren. Tiap hari kayak preman jalanan. Bedak aja ampe kadaluwarsa.”
                “trus..”
                “Kok lu bisa punya pacar se cakep itu?”
Aku terbahak lagi.
                “Iya, pacar gue ganteng ya. Ntar mau gue peluk dan cium depan kalian.”
                “Gila lu. Ternyata pemberani juga. Jangan bilang lu udah…”
                “heh.. gue masih waras.”
                “Tapi lu masih kan?”
Aku nyengir kuda.
                “Udah nggak..”
                “ha..?”
Aku makin seneng ngerjain mahluk sok cantik yang hobi make up tapi nggak modal ini.
                “Udah mo pindah kan gue… udah nggak disini.”
Vina mencak-mencak.
                “Alien…lu ngarti kagak sih…”
                “Ngarti banget gue. Pinteran gue daripada lu pada. Gue udah mo lulus duluan.”
                “Bukan itu maksud gue masalah hubungan.”
Aku menahan tawaku kembali
                “Ngarti banget. Sini gue mau turun. Nemuin pacar gue. Ntar gue kasih tahu. “
Nyampai ruang tamu Ernest garuk-garuk kepala dan mulai manyun
                “Lama lu. Cepetan. Time is money.”
Aku mengacungkan jempol. Lalu berbisik ke Ernest.
                “Gila lu..jangan disini. Dikira gue banci.”
                “kok..”
                “Iya pacaran ama setengah laki.”
Masih berbisik. Semua mata tertuju padaku dan Ernest. Aku merangkulnya seperti dirumah. Tidak jadi peluk cium, karena aku belum mandi. He.. he..Setelah barang-barangku masuk mobil aku berpamitan ke seluruh penghuni kos. Sebelum pergi aku berbisik ke Vina
                “jet li itu abang gue. Kandung. Bebas gue apain aja. KKK..”
Vina melotot sambil tereak kenceng banget
                “Kurang ajar lu ngerjain gue..”
Aku tertawa membahana sambil melambaikan tangan. Selamat tinggal kemiskinan! Ternyata hidup memang kejam. Penuh sandiwara. Tapi aku suka endingnya.
                Malam ini aku, Bokap, Ernenst menikmati makan malam di restoran sederhana di Jakarta. Artinya aku mau berterima kasih karena berlian itu sudah tidak di kami, aku bisa mencetak seluruh karya ku, punya pendapatan sendiri, dan kadang-kadang dipanggil buat asdos apresiasi sastra. Lumayan. Ternyata sesombong-sombongnya Ernest masih kakak yang peduli.
                Makan malam yang lengkap. Kami bertiga berkumpul kembali. Bokap sengaja tinggal di rumah Ernenst sambil kontrol kesehatan.
                “Makasih deh Nest.”
                “Nggak ikhlas banget ngomongnya.”
                “Makasih, Nest. Udah.”
                “Nggak usah pake udah.”
                “Makasih.”
Jawabku kesal. Ernest tertawa lepas. Matanya hilang semua. Merem.
                “Gue yang makasih, alien. Udah dipinjemin akses.”
Aku menatapnya tak mengerti. Bokap meninju bahu Ernest.
                “Kasih tahu adekmu. Dia pemiliknya.’
Ernest tersenyum misterius.
                “sebenernya, ehm..”
                “Ada apaan sih? Kok pake rahasia?”
Ernest dan Bokap pandang-pandangan.
                “Ehm…”
                “Nest. Cepet!”
Bokap sudah tidak sabar. Aku menatap Ernest curiga. Kegilaan apalagi ini.
                “berlian itu warisan nyokap buat kamu, Lien. Gue pinjem buat bisnis.”
Langit runtuh. Milik ku? Kemiskinanku selama ini? Ernestttt….
                “Lu nggak becanda kan?”
Bokap menghela nafas panjang.
                “kalian punya masing-amasing satu keping. Ibumu tidak pernah tahu nilai semuanya itu. Dia mendapatkannya dari nenekmu. Mungkin beliau juga tidak pernah tahu bagaimana benda berharga itu menjadi sangat mahal di dunia. Bapak sengaja pindah ke kota kecil supaya itu tidak menjadi bahan kriminalitas orang jahat. Ernest yang punya otak canggih ini memang cerdas. Dia menemukan juga celah supaya benda itu aman. Srkarang dia menyimpannya di bank asing. Yang milikmu dijual. Jadi asset sebesar perusahaan yang Ernest kelola. Itu milik kamu, Alien. Cuma Ernest tidak akan pernah mau mengatakannya sebelum kamu sadar tentang mengadapi masa depan. Dia tidak ingin kamu salah jalan. Jadilah kamu yang cuek dan konyol itu. Jadilah kamu yang ditempa ekonomi sulit itu sambil belajar menghadapi pahitnya hidup.”
Aku menunduk tak pernah percaya.
                “berlian gue bisa lu ambil, Alien. Makasih ya udah ngasih gue jalan. “
Aku melotot tajam.
                “Gue Cuma heran…selama ini Lu..”
Erenst tersenyum meledek.
                “Biar lu sadar tentang hidup. Dulu kan hidup kita ini susah dulu, Lien. Kamu harus ngerasain dulu perjuangan. Nha sekarang gue kasih jalannya.”
                “Trus yang di TV?”
Ernest tersenyum
                “Kirain kamu suka entertainment. Ternyata setelah gue dalemin karakter lu ada di belakang layar. Ya udah gue bikin percetakan kecil-kecilan.”
Aku memeluknya erat. Ernest memberontak
                “Alien…gue nggak banci!!!!”
                “Gue normal Nest..”
                “Tapi lu belom cuci kaos…”
Aku tertawa sekali lagi melihat tingkah manusia super unik ini yang notabene kakak ku sendiri.
                “Nest gue mau jujur.”
Ernest melotot. Gantian lah…
                “Makan yang sekarang lu yang bayar..”
Ernest mengejarku keliling meja sambil tereak
                “Nggak bisa! Gue rela nggak jadi kakak. Lu mesen makan sebanyak itu. Apa aja tadi. Sejuta juga kurang!!!! Habis saldo gue!”
Beacnda berlebihan. Kkkk. Aku mencibir sambil melenggang pergi. Itulah dunia. Penuh surprise.
                                                                                                                Cerita ini aneh. Biarin deh yang penting jadi…kkk
                                                                                                                                                      Plur 2019