MUSIM NGACO
Part 1
Miskin Tingkat 1
Siang
terik. Kunyalakan kipas angin di atas meja kamar kos sampai angka terbesar.
Alhasil angina meniup dengan kencang. Tetap tidak mengurangi hawa panas yang
menyengat ini. Lama-lama kegerahan tidak mampu menahan kantuk ku. Semilirnya
kipas angin dan mata yang mulai sayup membuat beberapa detik kemudian, aku
berada di dunia lain. Nyaman, dingin, mewah, ber AC dan…
“Brak!!
Alien… gue pinjem bedak ama make up lu!”
Dunia yang tadinya nyaman senyaman-nyamannya
langsung sirna. Kekagetanku menimbulkan pengaruh buruk. Mataku terjaga dan
melihat sosok si Vina teman kamar sebrang sudah asyik membuka laci meja ku. Aku
menghela nafas kesal. Tapi itulah Vina. Mahluk seksi di sebrang yang hobi make
up tapi nggak modal alias ‘gembel’ sok ‘centil’.
“Woe…
make up sih pake aja. Tapi bisa nggak masuk ketuk pintu atau pelan-pelan. Ni
gue baru mo mimpi lu tereak..”
Vina dengan wajah innocent nya senyum-senyum
saja. Dasar! Aku menggaruk-garuk kepalaku sambil dengan malasnya cuci muka lalu
lihat jam dinding di ruang tamu kos. Ha!!!! Ini pukul 14.00. Artinyaaaa… ada
kuliah jam ini. Aku lari sekencang-kencangnya masuk kamar dan mendapati si Vina
masih nyolek-nyolek mukanya pakai apa namanya itu… entahlah kosmetik apa itu.
Begitu aku menyambar sisir di dekatnya dia terkejut bukan kepalang.
“heh…
kok lu disini nggak bilang-bilang. Bikin jantungan!”
Busyet! Perasaan aku yang punya kamar, punya hak
prerogative. Kenapa diomelin. Bodo amet lah, saatnya ngebut ke kampus daripada
ngulang semester depan. Aku menyambar kemeja di lemari dan buru-buru pakai
celana jeans belel serta seperlunya ngaca. Lalu tanganku sibuk memasukkan
binder note dan HP ke ransel butut di
kursi. Masih terasa tangan Vina menahanku.
“heh!
Dandan dulu kek…”
“Sorry,
gue buru-buru. Dandan nggak akan nyelametin gue semester ini kalo ampe nggak
lulus.”
Vina geleng-geleng kepala.
“Ya
udah ati-ati. Jangan selebor lu… ntar kesandung batu tetep telat kuliah. Jangan
lupa tutup pintu kamar lagi.”
“What?”
Aku masih heran dengan mahluk gila itu.
Bisa-bisanya aku diusir dari kamarku sendiri. Padahal..
“halah…
pake ngelamun…cepet sana! Telat ntar!”Hh… gila..gila..gila. siang yang aneh
setiap hari. Aku lari ke kampus seperti kesetanan. Sampai di ruang kuliah aku
bernafas lega karena dosen belum datang. Resikonya pasti duduk depan dan nggak
bisa sambil merem-merem dikit. Pasti kelihatan. Haduhhh…nasib memang sial!
Usai
kuliah perutku nyaring berbunyi. Minta jatah. Terpaksa sambil pulang kuliah
mampir warung. Ku raba uang di saku celana. Satu lembar 10 ribuan dan selembar
2 ribu an. Itu uang akhir minggu ini. Sementara jatah mingguanku masih 2 hari
lagi. Ah..persetan! Di warung aku langsung pesen makanan.
“Mbak…”
“Udah
tahu. Duduk aja.”
Aku masih mau nunjuk menu si mbak nya langsung
melayani. Hebat, ya… saking hapalnya menu sehari-hari ku si Mbak sangat cekatan
melayani. Mataku langsung hijau melihat
ada yang mau datang ke warung. Mataku juga langsung menatap menu di situ yang
paling premium. Saatnya menikmati makan siang mewah!
“Mbak,
hari ini pake sayur lodeh, semur daging, sama acar kuning.”
Si Mbak terperanjat sejenak. Selanjutnya bisa ku tebak ia menepuk jidat. Dalam pikirannya menyesal telah melayaniku. Karena ujung-ujungnya pasti … Ngutang.
Si Mbak terperanjat sejenak. Selanjutnya bisa ku tebak ia menepuk jidat. Dalam pikirannya menyesal telah melayaniku. Karena ujung-ujungnya pasti … Ngutang.
“tenang
Mbak.. hari ini saya bayar. Ada juragan mau datang..”
Aku dengan PD nya menanti seorang lelaki bermata
sipit dan berpenampilan layaknya pejabat itu masuk warung.
Aku
melahap isi piring ku ketika si lelaki itu sampai di warung dan duduk di
sampingku sambil menjewer kupingku.
“Heh…dicariin
ke kos an, ke kampus, enak di mari.”
“laper
banget Nest… untung ada lu.”
Ia menepuk jidatnya melihatku kesetanan
menyantap menu termewahku sepanjang minggu ini.
“Enak
aja…siapa mau bayarin..”
“Nest… plis. Udahlah… biarkan gue makan sebentar. Lu diem situ. Pesen kek apaan.”
“Nest… plis. Udahlah… biarkan gue makan sebentar. Lu diem situ. Pesen kek apaan.”
Ernest mendengus kesal sambil mainin HPnya.
“Alien…serius.
Gue ada perlu. Nitip sesuatu. Plis…nggak usah basa basi.”
Aku mengangguk cuek sambil terus mengunyah
makanan. Biar cacing-cacing dalam perutku tidak lagi berbunyi nyaring.
“Alien…sabtu lu pulang. Jagain
bokap. Bokap sakit. Gue nggak bisa balik minggu ini. Ada project. Duitnya
lumayan.”
Aku berhenti mengunyah. Sinting! Lelaki mirip koko-koko di glodok ini kakak ku. Ernest Yoga Wibadsu. Wajahnya oriental dengan kulit putih bersih dan berkacamata. Persis orang tionghoa. Dandannya rapi dan duitnya banyak. Mangkannya dia andalanku saat genting seperti sekarang.
Aku berhenti mengunyah. Sinting! Lelaki mirip koko-koko di glodok ini kakak ku. Ernest Yoga Wibadsu. Wajahnya oriental dengan kulit putih bersih dan berkacamata. Persis orang tionghoa. Dandannya rapi dan duitnya banyak. Mangkannya dia andalanku saat genting seperti sekarang.
“Nggak
tanggung jawab lu, Nest. Kan jatah situ minggu ini. Ntar balik dari bokap
setoran ke gue.”
Ernest mencibir. Masih nggak mau rugi dengan
bisnisnya. Masih sambil chatting.
“Nest…gue
nggak ada duit buat pulang….abis ini gue mau ke rumah lu….minjem dulu.”
Tak lama kemudian si Ernest mengeluarkan
lembaran merah.
“Gue
nggak mau rugi. Pokoknya lu pulang sabtu. Gue kasih cepek. Tapi syaratnya lu
bilang pengen pulang dan jangan bawa-bawa bisnis gue ke bokap. Plis.”
Seketika mataku hijau kembali. Gampang..tinggal
bilang kangen bokap aja…yang penting ada sedikit pencerahan dalam minggu ini
dengan selembar merah yang berharga itu. Aku melanjutkan makan sambil minum
segelas es the manis yang benar-benar segar. Ernest sudah mau beranjak dari
warung ketika aku ingat sesuatu.
“Nest,
bayarin makan gue!”
Ernest tidak berhenti dan menoleh sedikitpun
kecuali teriakannya
“Udah
gue bayar!”
Aku menghela nafas lega. Akhirnya makan enak
dengan sisa uang 12 ribu. He he.. rejeki memang siang ini.
Sabtu
yang menyenangkan. Aku sudah duduk di KRL dan sebentar lagi sampai rumah.
Terasa bahagia meski hidupku sederhana. Ameliorasi dari miskin. He… he.. Aku
adalah Adrenalien. Adrenalien Neurilemma Innasty. Putri kedua bokapku. Seorang
pensiunan angkatan darat berpangkat rendah bagian perhubungan. Kerjaannya
ngurusin HT dan bermacam-macam media sosial masa lampau. Anaknya Cuma 2 orang.
Aku dan Ernest. Entah kenapa kami berdua terlahir dengan 2 dimensi yang
berbeda. Ernest mirip orang tionghoa bermata sipit hampir merem dengan
perawakan tinggi kulit putih danrambut berdiri tegak dan rahang kokoh.
Sementara aku mirip orang-orangan di patung hiasan rumah yang tidak tinggi, kulit
langsat mata coklat, dan rambut kemerahan lurus. Kata orang-orang aku mirip
ibuku Almarhum. Ia mirip eropa dengan kulit putih dan rambut pirang asli. Cuma
mata almarhum ibuku kehijauan, benar-benar mirip boneka plastik yang bisa
diputar kepalanya. Padahal, ibu bapak ku asli orang Jawa Timur. Tepatnya kota
Tahu, Kediri. Ibuku lahir dari seorang berketurunan priyayi yang menjunjung
tinggi bibit bobot bebet. Sedangkan bokap lahir dari seorang petani miskin di
pelosok yang mencoba peruntungan di dunia militer dengan gaji kecil karena Cuma
lulus SMA. Dua alam. Hubungan mereka tidak ditentang keluarga inti, tapi
diremehkan oleh keluarga besar ibuku. Mereka selalu membedakan status dalam
keluarga kami dan mereka. Mereka selalu mengejek kami yang bermuka beda ini
dengan mengatakan kami lahir dari keturunan orang asing yang menjajah
Indonesia. Padahal, kalau masalah keren-keranan, kami lebih keren. Zaman
sekarang. Dulu kami merasa terkucilkan. Kalau ada hajatan, kami berasa dari
planet yang berbeda. Mereka dengan perhiasan lengkap, baju-baju rumbai-rumbai
dan baru. Sementara aku dan Ernest bahagia dengan baju lama kami kaos, celana
sepatu dan kaos kaki. Mereka menjauhi kami yang asyik makan tanpa malu-malu.
Kami merasa santai saja. Cuma bokap sering melarang kami ikut hajatan keluarga.
Alasannya ada-ada saja. Bilang kami lagi belajar, pilek, bahkan bilang kami
lagi nggak suka diajak pergi. Kami hanya cuek saja. Ibuku memilih membawa kami
jalan-jalan sekitar rumah dan mengenalkan kami pada anak-anak tetangga yang
lebih sosial, lebih asyik. Akhirnya kami puas dengan kehidupan sekitar. Bukan
kehidupan keluarga besar yang senewen itu. Bokap yang sering tugas membuat kami
biasa menjadi anak mandiri yang saling berbagi tugas. Aku yang selalu
disuruh-suruh dan Ernest memimpinku. Menjadi mandor. Herannya aku nurut saja. Waktu
kecil. Ternyata sampai sekarang Ernest memang bos dan aku anak ingusan yang
tergantung dia.
Waktu
kami kecil, bokap dipindah tugaskan ke Bandung. Akhirnya kami pindah ke kota
Priangan itu. Logat jawa kami tidak pernah luntur, meski sudah fasih berbahasa
Sunda. Di usia kami remaja, Bokap pension dini karena kondisi. Sementara ibuku
meninggal dunia dalam perjuangannya melawan kanker rahim. Bokap yang depresi
memilih pension dini dan tinggal di kota hujan, Bogor. Kota yang tidak jauh
dari ibukota itulah yang membesarkan kami, hingga aku dan Ernest bisa kuliah di
ibukota dengan jalur PMDK. Tak ada yang menyangka kalau melihat kami sekilas,
bahwa kami keturunan Jawa tulen. Baru kalau kami bicara semua akan jelas.
Karena kemedokan logat kami tidak bisa menipu. Waktu kecil, Bokap selalu dilihatin
orang kalau mengajak kami jalan-jalan. Bokap berkulit kecoklatan dengan wajah
ABRI nya menggandeng anak-anak seperti aku dan Ernest. Mungkin dikiran nyulik
anak orang. He he..
Sampai di rumah, aku mendapati Bokap sedang
asyik menyiram tanaman-tanamannya, yang menjadi pendapatan hidup selama ini.
Matanya menatapku senang.
“Katanya sakit, Pak?”
Bokap tertawa kecil
Bokap tertawa kecil
“Sakit
masa tiduran…”
Aku menjabat tangannya dan langsung ke dapur.
Mendapati nasi masih ngebul dan ikan goreng yang wangi krispi hasil empang
belakang. Yang namanya kelaparan harus dilawan. Aku melahap habis makanan di
piring. Sementara bokap duduk di depan ku sambil geleng-geleng kepala
“Mbok
ya dipikirin Nduk, Mas mu ntar belum datang…”
Aku berhenti mengunyah makanan dan komentar dengan
santai
“Nggak
bakal dateng dia, pak. Sibuk…”
Bokap tertawa membahana sambil mencomot sepotong
pisang goreng.
“Mas
mu itu memang aneh. Siapa yang dia tiru, jiwa kok bisnis. Tapi masih mendingan
lah…daripada kamu. Sastrawan amatir. Ngrepotin mulu..”
Aku tersenyum masam. Rasanya hampir dapat piring
yang ngomongin kami dua dimensi. Si Ernenst dengan bisnisnya, lulus kuliah
ekselerasi, beli rumah sendiri. Bokap saja heran bukan kepalang, kalau ditanya
uang kuliah dipakai apa, jawabnya singkat. Bisnis. Giliran aku hanya mahasiswa
sastra yang miskin, ngandelin kiriman ortu, kadang ngandelin honor dari
majalah. Itupun sangat tidak pasti. Bokap yang terlihat sehat wal afiat malah
asyik ngrawat tanaman dan ikan di empang, sementara aku dengan santainya menikmati
hidup seharian di kamar dengan segala keikmatan duniawi berupa makanan semeja
penuh. Tidur dengan tenang tanpa diganggu apapun. Tapi hidup memang masih
panjang.
Part
2
MIskin
Tingkat Dewa
Hari
Senin aku sdudah kembali ke kos an. Rasanya hidup kembali sulit. Apalagi
sekarang musim lagi ngaco-ngaconya. Harga serba tinggi. Kuliah hampir tiap
hari. Ernest yang sombong itu pun tidak ada kabarnya. Aku hanya menjalani
aktivitasku rutin di kampus. Pulang. Ke kos. Nulis artikel, nulis novel, nulis
cerpen. Sampai akhir minggu kembali aku melihat isi dompetku. Tinggal 10 ribuan
dan receh tiga keeping gopek an. Padahal, ini masih hari Sabtu. Mau minta bokap
lagi, sungkan. Bokap sudah susah payah berobat sendiri. Tidak pernah mengeluh.
Hanya satu andalanku. Ernest. Iya, enggak. Iya enggak. Harga diriku tiba-tiba
melambung tinggi di awan. Sungguh memalukan.
Dengan
menahan gengsi, aku memasuki gerbang rumah Ernenst. Seluruh pandanganku kabur.
Motornya nggak ada. Tapi pintu kelihatan tidak dikunci. Jendela terang. Gorden
terbuka lebar. Berarti dia ada. Masuk ke ruang tamu aku dikagetkan dengan
ruangan baru. Bukan ruang tamu yang kudapati. Tapi sederetan meja kerja dengan
masing-masing ada PC dan printer. Ini rumah, apa kantor? Aku terdiam dan
langsung berfikir cepat. Ini mungkin bisnis barunya si Koko itu. Salah satu
anak buah Ernest menyambutku ramah.
“Mbak tunggu. Bang Ernenst lagi
keluar. Mau minum apa?”
Aku yang jalan kaki ke rumah ernest karena ngirit langsung nyerocos bahagia
Aku yang jalan kaki ke rumah ernest karena ngirit langsung nyerocos bahagia
“Air, sirop, es batu. Buahnya
yang segeran ya…anggur merah.”
Si Mas itu melongo dan langsung ke belakang minta tolong seseorang.
Si Mas itu melongo dan langsung ke belakang minta tolong seseorang.
Menegak
es sirop dengan sepiring semangka membuatku kembali cerah ceria. Anggur masih
belum berbuah katanya. Emang si bos yang emounya aja yang pelit. Sofa yang
empuk dan hawa AC yang dingin membuat mataku enggan terbuka. Belum sempat
merajut mimpi, aku dikejutkan datangnya Mahluk gila. Ernenst. “Enak aja nikmatin kerja keras gue,
Lu ya…”
Aku mendengus kesal. Kalau bukan kakak ku, entah
bagaimana dia.
“Nest..”
“Hm…”
“Jadi
gini…”
“ngapa..”
“Nest…
ngomongnya gimana ya..”
“Langsung
aja..”
“Ehm…”
“Mo minta duit.??”
“Mo minta duit.??”
Aku melotot.
“Minjem.”
Aduhhh…harga diriku benar-benar runtuh. Meskipun
miskin, tapi harga diri nomor satu. Aku nggak bisa merendah di depan makluk
satu ini.
“Ini…gue
kasih. Lu sih, dibilangin ikut gue bisnis, malah mikirin jadi sastrawan yang
nggak jelas ujungnya.”
“jangan
bawa-bawa profesi gue. Nest, plis, gua minjem.”
Ernenst terbahak.
“Gini
aja gue kasih 200 ribu. Lu bawa aja. Tapi lu ikut kerja ama gue.”
Aku terperangah. Malas rasanya menanggapi
Ernenst si sombong yang makin congkak itu. Biarpun miskin, aku masih punya
harga diri.
“Sorry.
Gue minjem aja. Gopek. Serius, kalo novel gue dimuat gue balikin..”
Ernest terbahak.
Ernest terbahak.
“Tahun berapa? Heloo… “
Aku menahan amarahku. Tapi bagaimanapun aku sedang butuh uang. Butuh banget. Buat hidup. Biarin Ernenst ngeledek berkali-kali. Tapi rasa gengsiku lebih besar saat ini. Yang penting intinya tetap dengan idealism ku. Miskin miskin juga hidup saya sendiri…
Aku menahan amarahku. Tapi bagaimanapun aku sedang butuh uang. Butuh banget. Buat hidup. Biarin Ernenst ngeledek berkali-kali. Tapi rasa gengsiku lebih besar saat ini. Yang penting intinya tetap dengan idealism ku. Miskin miskin juga hidup saya sendiri…
Ernenst
tereak dari rumahnya meneriakiku yang pulang tanpa permisi. Aku ngeloyor pulang
dengan muka masam. Bodo amat. Mataku juga jengah melihat Rasanya sekarang dunia
sudah tidak berpihak lagi padaku. Hancur harapanku. Tinggal satu-satunya novel
di laptop yang jadi andalan hidupku.
Dengan
kepala setengah kliyengan, aku tiduran di kamar kos dan menikmati tidur siang
supaya cacing-cacing dalam perutku tidak berteriak-teriak. Solusinya adalah
minum air putih sebanyak-banyaknya yang gratis di kosan. Beres. Mimpiku siang
ini sangat istimewa, makan enak di sebuah restoran mewah dengan menu-menu
pilihan. Belum lengkap rasanya kebahagiaan itu, aku dikagetkan suara nyaring
ditelinga
“Alien……!
Bangooon!”
Mataku mengintip sebelah. Yang kudapati kepala
yang dekat sekali dengan mataku. Kepala itu melotot tajam. Gila! Si Vina. Aku
buru-buru bangun. Masih mengusap-usap mataku yang enggan terbuka. Aku menguap
lebar.
“Alien,
lu cepetan bangun. Itu sekampung pada nonton mobil TV di bawah. Nungguin lu!”
Aku yang masih di dunia lain mengernyitkan dahi
bingung. Apa maksudnya?
“Ngapain gue?”
“Udah… lu bangun. Itu stasiun TV Mau jemput lu. Gue juga nggak tahu!”
“Udah… lu bangun. Itu stasiun TV Mau jemput lu. Gue juga nggak tahu!”
Aku mencubit tanganku. Ini mimpi kali…
Masih
berpakaian ala kadarnya. Sendal jepit. Kaos oblong dengan jelana jeans, aku
buru-buru keluar kamar. Vina menahanku.
“Alien,
lu emang nggak usah dandan. Nggak perlu make up udah keren tapi paling nggak
bedakan dikit ama pake parfum. Lu mau ke stasiun TV. “
Aku menggeleng kuat
“Nggak
perlu. Gue mau nanya ada apa dengan gue..”
Vina nggak peduli kalimat bantahanku, langsung
diseret aku ke kamar lagi. Disuruh duduk. Dibedakin tipis. Pakai lip tin pink
muda dan dipaksa pakai snikers putih di tempat sepatuku. Parfum wangi bunga
setaman disemprotin. Aku bersin-bersin. Apaan ini… seumur-umur rasanya nggak
pernah pake wangi parah beginian. Nenek sihir jahat! Aku keluar diantar Vina.
Rasanya mukaku lebih tebel dari diktat kuliah. Di bawah aku langsung disambut
seseorang yang katanya dari TV swasta dan memintaku ikut dengannya karena ada
Mou denganku. Aku nurut saja. Di mobil tersedia bermacam cemilan enak.
Crackers. Wafer. Kripik kentang. Minuman ringan dan buah sekeranjang besar. Aku
duduk sambil kebingungan. Ada masalah apa aku sampai diculik stasiun TV di
sisng bolong begini. Mungkin ada yang salah. Atau aku dapet lotre berhadiah.
Ah!
Sesampainya
di stasiun TV aku dibawa masuk ke ruang redaksi. Dinginnya 5x AC rumah Ernest.
Gila! Ini kulkas kali. Aku langsung berhadapan dengan seorang wanita dengan
kulit putih meke up tebal dan dandanan elegan. Seperti model.
“kak..
selamat ya, naskah Anda kami pilih untuk digubah menjadi sinetron.”
Aku melongo. Naskah? Siapa yang ngirim naskahku?
Naskah yang mana? Dijadiin sinetron? OMG! Apa-apaan ini. Idealismeku muncul
kembali.
“Maaf,
tapi saya nggak ngerasa ngirim naskah, Bu. Naskah orang lain mungkin. Salah
orang.” Sergahku. Wanita itu menunjukkan sesuatu padaku. Kertas putih bukti
pengiriman naskah atas namaku. Mataku nanar menatap bukti pengiriman itu dan
aku langsung melonjak. Ini pasti ulah si Ernest. Kenapa dia tidak Tanya-tanya
padaku dulu? Maen ngirim. Hanya dia yang punya akses masuk kamar kos ku dan
membuka-buka laptopku. Dia pikir dengan begini aku akan terbebas dari
kemiskinanku. Sementara dia dapat untung dari marketingnya. Sialan!
“maaf
bu. Saya nggak menjual naskah saya untuk dijadikan sinetron. Saya hanya menjual
naskah saya pada penerbit. “
“Tapi
kami akan bayar mahal naskah Anda.”
“maaf,
saya nggak bisa. Permisi.”
Segala duniaku berbalik. Ernenst bener-bener keterlaluan.
Aku meluncur ke rumahnya. Kebetulan si koko sedang santai di sofa sambil main
gadgetnya.
“Nest..”
“Hm..”
“Ernest!!”
“Iya.
Berisik!”
“ngapain lu lancang!”
“Biar lu cepet kaya!”
“Biar lu cepet kaya!”
“Bukan
urusan lu!”
“Biarin.”
“nest…”
“Hoe!”
“Lu
udah gila!”
“Lu
yang bego!”
“Bego
gini adik lu.”
“gue
kakaknya orang bego!”
“nest
gue serius.”
“Gue
udah serius sejak lahir.”
“kenapa
lu nggak izin gue ngirim naskah ke TV?”
Ernest terbahak. Ia mengacak rambutku.
“karena
lu adek gue.”
“Lu
..ah, lu nggak tahu. Naskah itu bukan buat jadi sinetron.”
“Trus?”
“Jadi
buku. Jadi bacaan di blog. Udah.”
“Trus
dikembaliin penerbit? Dibilang jelek? Lu terima? Kalo gue enggak!”
“Tapi
..”
Ernest merangkulku. Seluruh jiwaku runtuh.
Tangisanku tak terbendung lagi.
“Lien,
lu harus sadar. Tulisan lu bagus. Harus diapresiasi. Gue nggak tahu caranya. Ya
gue kirim aja ke TV. Kali aja bisa. Eh, bisa kan?”
Aku menggeleng pelan.
“Bukan
jadi sinetron, Nest. Nilai tulisan gue jadi berkurang banyak.”
Ernenst menghela nafas panjang.
“tuh..bokap
dateng. Katanya mo ngomong ama lu.”
Aku menatapnya heran. Kenapa bawa-bawa bokap
segala. Aku menemukan bokap berdiri di depan pintu kamar dan langsung
memeluknya. Ernenst memang kurang ajar. Masih dengan segala kesombongannya
mengalahkan aku yang lemah. Sementara bokap malah berpihak padanya.
Pulang
dari rumah Ernenst aku lunglai. Apa dayaku menghadapi si koko yang di otaknya
hanya bisnis itu. Biarin aku dengan kemiskinanku. Biarkan saja. Aku pulang ke kos
an dengan perasaan tidak karuan. Si Vina menyambutku dengan bahagia. Dia tidak
akan tahu apa yang terjadi.
Part 3
Musim
Berganti
Seharian
kerjaanku hanya mengeluh di laptop alias keluahan-keluhanku jadilah sebuah
novelet sepanjang 56 halaman. Setelah itu aku ketiduran sampai malam. Aku
terbangun karena ada bau-bau sedap menghujam hidungku. Bau semacam makanan enak
di sebelahku. Aku terlonjak kaget mendapati Bokap sudah duduk di tempat tidur
sambil baca buku. Bokap?
“Bangun.
Itu Bapak bawain martabak telor. Ernest lagi ngurus percetakan kamu.”
Aku ternganga-nganga.
“Ernest ?”
Bokap menangguk santai sambil kembali menikmati bacaan ditangannya. Itu lah kesamaanku dengannya. Hobi baca. Cuman kalo Bokap baca berita dan bacaan ilmiah. Aku suka baca novel detektif. Pembunuhan berdarah-darah.
Bokap menangguk santai sambil kembali menikmati bacaan ditangannya. Itu lah kesamaanku dengannya. Hobi baca. Cuman kalo Bokap baca berita dan bacaan ilmiah. Aku suka baca novel detektif. Pembunuhan berdarah-darah.
“Dia
mau ke Australi bulan depan, Lien. Ada bisnis baru katanya. Dia minta kamu
menjaga kotak bludru itu.”
Aku menatap kotak di meja. Kotak apa gerangan?
Penasaran aku langsung buka kotak beludru itu. Isinya membuatku terpana. Barang
berkilauan itu bersinar sempurna. Aku terkejut bukan kepalang. Berlian.
Berli…an. Ernenst bukan lagi kurang waras. Tapi benar-benar gila! 100%. Gila.
Kalau sampai ada orang jahat, atau ada mafia menangkapku di kampus siang
bolong. Aku diculik dan dibunuh… Ngeri! Sungguh ngeri. Rasanya ngeri membayangkan
apa yang akan terjadi kalau-kalau berlian itu ada di tanganku.
“Apa isinya?”
Tanya bokap penasaran.
Tanya bokap penasaran.
“Bom.
Bom atom, Pak.”
Bokap tertawa. Mungkin pikirnya aku becanda. Itu
makna kiasan dari ledakan bahaya jika benda keramat nan mewah itu masih ada di
kamar kos ini.
“Pak,
itu barang berharga yang kalau ditaruh sini sangat berbahaya. Akan ku
kembalikan sama Ernest.”
Bokap menahanku.
“Apa
sih Nduk? Berlian?”
Aku melongo tak percaya. Bokap tahu semua.
Mungkin idenya bokap. Aku manyun.
“Berlian
itu bisnis kakakmu. Sekarang dia mau urusin bisnis calon istrinya.”
Istri? Ernest bukan lagi gila. Tapi stress
tingkat dewa. Calon istrinya bisnis berlian. Tante-tante …ough… aku makin ngeri
membayangkan masa depan kakakku satu-satunya. Tiba-tiba rasa kasihan membahana
di jiwaku.
“Kasihan si Ernest ya Pak.”
Bokap menatapku.
Bokap menatapku.
“kamu
yang kasihan. Kuliah tinggal sejengkal lagi. Kamu masih begitu saja hidupnya.”
Aku tersenyum masam. Ini. Ini yang tidak
kusukai. Orang hanya memandang Ernest seorang. Tidak pernah melihatku.
Seolah-olah aku ini benalunya Ernest. Sementara kakakku adalah tokoh utama di
setiap cerita.
Bokap
menatapku lama. Mungkin dia pikir aku sedih. Maaf. Aku hanya heran. Kenapa
kehidupan seniman selalu sederhana alias miskin. He he…beda dengan hidup
orang-orang seperti Ernest. Koko koko gedungan yang tiap omongannya didengarkan
customernya.
“kakakmu itu sayang sama kamu,
Lien. Tadi Dia bilang akan urusin percetakan buku. Bisnis baru yang katanya
fasilitasi kamu yang hobi nulis.”
Aku makin heran dengan nasibku yang berubah 360 derajat. Percetakan? Buatku? Si Ernest ?Apa lagi ini???
Aku makin heran dengan nasibku yang berubah 360 derajat. Percetakan? Buatku? Si Ernest ?Apa lagi ini???
Malam-malam
aku nggak tahan untuk nganter bokap ke rumah Ernest sekalian memperjelas
kegilaannya selama ini padaku. Lebih gila lagi aku melihat mobil baru terparkir
di depan rumahnya. Ernenst memang sosok misterius penunggu petilasan mungkin.
Ghaib. He he…
“Eh…masih
mau ke rumah gue, Lu.”
“Nganter
Bokap.”
“E…bukan
mau nanya-nanya gitu.”
Aku melotot. Pancingannya kena juga
“sebenarnya
kamu habis imunisasi ya? Kok makin waras..”
“Maksudnya..?”
belum selesai bicara seseorang yang wangi, tinggi, cantik, bening, sampai lalatpun akan terpeleset kalau lewat di wajahnya menampakkan dirinya. Aku makin ternganga-nganga.
belum selesai bicara seseorang yang wangi, tinggi, cantik, bening, sampai lalatpun akan terpeleset kalau lewat di wajahnya menampakkan dirinya. Aku makin ternganga-nganga.
“Kenalin,
Evelin. Calon gue. Cantik, kan?”
Aku melongo lagi. Kirain calonnya Ernest itu
tante-tante. Ternyata wanita sempurna ini. Terus…berlian itu?
“Nest. Maaf ya. Gue nggak mau
nyimpen benda keramat itu. Plis. Gue masih mau hidup. Itu berlian bahaya. Ntar
kalo kita semua dibunuh mafia?”
Ernest terbahak.
Ernest terbahak.
“Lu
banyakan nonton film. Nggak bakal kenapa-kenapa. Itu berlian bakal gue ambil
pulang dari Australi. Cuma lu yang gue percaya. Abis itu kita bebas. Kamu
tinggal banyak nulis aja. Percetakan gue udah siapin. Tinggal gue marketingin
buku lu ke klien-klien gue di negeri ini. Beres. Lu kuliah. Lulus. Urusin
percetakan. Urusin Bokap. Gue mau terbang ke luar. Setelah nikah.”
Wanita itu tersenyum padaku. Benar-benar
sempurna hidup Ernest. Dan makin malu aku dibuatnya. Rupanya dibalik
keisengannya dan kesombongannya Ernest masih peduli padaku. Syukurlah.
Enam
bulan berlalu setelah peristiwa rahasia itu. Aku sudah mulai mengakhiri
skripsiku juga. Paket akselerasi kupakai untuk menghemat biaya. He he.. Aku menghela
nafas lega. Saat ini aku akan pindah kos an. Seluruh isi kos menatapku baangga.
Di ruang tamu kos an ada tamu. Kata teman-temanku ada Jet li. Aku terbahak menyadari
yang datang adalah Ernest. Mereka tertegun dan melongo saat tahu mahluk mirip
Jet li itu adalah kakak ku. Yang parah Vina dengan argumentasinya yang
menyakitkan sebelum tahu semuanya.
“Alien,
jangan bilang yang di ruang tamu bawah itu gebetan lu. Gue tahu lu sebenernya
cakep.”
“Dari
lahir.”
Jawabku sambil asyik packing barang-barang. Mo
pindah ke rumah Ernest, karena mahluk gila itu akan tinggal dengan istrinya di
perumahan elite di dekat samudra Jakarta sana.
“Tapi
lu selebor. Nggak pernah dandan yang keren. Tiap hari kayak preman jalanan.
Bedak aja ampe kadaluwarsa.”
“trus..”
“Kok
lu bisa punya pacar se cakep itu?”
Aku terbahak lagi.
“Iya,
pacar gue ganteng ya. Ntar mau gue peluk dan cium depan kalian.”
“Gila lu. Ternyata pemberani
juga. Jangan bilang lu udah…”
“heh.. gue masih waras.”
“heh.. gue masih waras.”
“Tapi
lu masih kan?”
Aku nyengir kuda.
“Udah
nggak..”
“ha..?”
Aku makin seneng ngerjain mahluk sok cantik yang
hobi make up tapi nggak modal ini.
“Udah
mo pindah kan gue… udah nggak disini.”
Vina mencak-mencak.
“Alien…lu
ngarti kagak sih…”
“Ngarti
banget gue. Pinteran gue daripada lu pada. Gue udah mo lulus duluan.”
“Bukan
itu maksud gue masalah hubungan.”
Aku menahan tawaku kembali
“Ngarti
banget. Sini gue mau turun. Nemuin pacar gue. Ntar gue kasih tahu. “
Nyampai ruang tamu Ernest garuk-garuk kepala dan
mulai manyun
“Lama
lu. Cepetan. Time is money.”
Aku mengacungkan jempol. Lalu berbisik ke
Ernest.
“Gila
lu..jangan disini. Dikira gue banci.”
“kok..”
“Iya
pacaran ama setengah laki.”
Masih berbisik. Semua mata tertuju padaku dan
Ernest. Aku merangkulnya seperti dirumah. Tidak jadi peluk cium, karena aku
belum mandi. He.. he..Setelah barang-barangku masuk mobil aku berpamitan ke
seluruh penghuni kos. Sebelum pergi aku berbisik ke Vina
“jet
li itu abang gue. Kandung. Bebas gue apain aja. KKK..”
Vina melotot sambil tereak kenceng banget
“Kurang
ajar lu ngerjain gue..”
Aku tertawa membahana sambil melambaikan tangan.
Selamat tinggal kemiskinan! Ternyata hidup memang kejam. Penuh sandiwara. Tapi
aku suka endingnya.
Malam
ini aku, Bokap, Ernenst menikmati makan malam di restoran sederhana di Jakarta.
Artinya aku mau berterima kasih karena berlian itu sudah tidak di kami, aku
bisa mencetak seluruh karya ku, punya pendapatan sendiri, dan kadang-kadang
dipanggil buat asdos apresiasi sastra. Lumayan. Ternyata sesombong-sombongnya
Ernest masih kakak yang peduli.
Makan
malam yang lengkap. Kami bertiga berkumpul kembali. Bokap sengaja tinggal di
rumah Ernenst sambil kontrol kesehatan.
“Makasih
deh Nest.”
“Nggak
ikhlas banget ngomongnya.”
“Makasih,
Nest. Udah.”
“Nggak
usah pake udah.”
“Makasih.”
Jawabku kesal. Ernest tertawa lepas. Matanya
hilang semua. Merem.
“Gue
yang makasih, alien. Udah dipinjemin akses.”
Aku menatapnya tak mengerti. Bokap meninju bahu
Ernest.
“Kasih
tahu adekmu. Dia pemiliknya.’
Ernest tersenyum misterius.
“sebenernya,
ehm..”
“Ada
apaan sih? Kok pake rahasia?”
Ernest dan Bokap pandang-pandangan.
“Ehm…”
“Nest. Cepet!”
Bokap sudah tidak sabar. Aku menatap Ernest curiga. Kegilaan apalagi ini.
Bokap sudah tidak sabar. Aku menatap Ernest curiga. Kegilaan apalagi ini.
“berlian
itu warisan nyokap buat kamu, Lien. Gue pinjem buat bisnis.”
Langit runtuh. Milik ku? Kemiskinanku selama
ini? Ernestttt….
“Lu
nggak becanda kan?”
Bokap menghela nafas panjang.
“kalian
punya masing-amasing satu keping. Ibumu tidak pernah tahu nilai semuanya itu. Dia
mendapatkannya dari nenekmu. Mungkin beliau juga tidak pernah tahu bagaimana
benda berharga itu menjadi sangat mahal di dunia. Bapak sengaja pindah ke kota
kecil supaya itu tidak menjadi bahan kriminalitas orang jahat. Ernest yang
punya otak canggih ini memang cerdas. Dia menemukan juga celah supaya benda itu
aman. Srkarang dia menyimpannya di bank asing. Yang milikmu dijual. Jadi asset
sebesar perusahaan yang Ernest kelola. Itu milik kamu, Alien. Cuma Ernest tidak
akan pernah mau mengatakannya sebelum kamu sadar tentang mengadapi masa depan.
Dia tidak ingin kamu salah jalan. Jadilah kamu yang cuek dan konyol itu.
Jadilah kamu yang ditempa ekonomi sulit itu sambil belajar menghadapi pahitnya
hidup.”
Aku menunduk tak pernah percaya.
“berlian
gue bisa lu ambil, Alien. Makasih ya udah ngasih gue jalan. “
Aku melotot tajam.
“Gue
Cuma heran…selama ini Lu..”
Erenst tersenyum meledek.
“Biar
lu sadar tentang hidup. Dulu kan hidup kita ini susah dulu, Lien. Kamu harus
ngerasain dulu perjuangan. Nha sekarang gue kasih jalannya.”
“Trus yang di TV?”
Ernest tersenyum
Ernest tersenyum
“Kirain
kamu suka entertainment. Ternyata setelah gue dalemin karakter lu ada di
belakang layar. Ya udah gue bikin percetakan kecil-kecilan.”
Aku memeluknya erat. Ernest memberontak
“Alien…gue
nggak banci!!!!”
“Gue
normal Nest..”
“Tapi
lu belom cuci kaos…”
Aku tertawa sekali lagi melihat tingkah manusia
super unik ini yang notabene kakak ku sendiri.
“Nest
gue mau jujur.”
Ernest melotot. Gantian lah…
“Makan
yang sekarang lu yang bayar..”
Ernest mengejarku keliling meja sambil tereak
“Nggak
bisa! Gue rela nggak jadi kakak. Lu mesen makan sebanyak itu. Apa aja tadi. Sejuta
juga kurang!!!! Habis saldo gue!”
Beacnda berlebihan. Kkkk. Aku mencibir sambil
melenggang pergi. Itulah dunia. Penuh surprise.
Cerita ini
aneh. Biarin deh yang penting jadi…kkk
Plur
2019