BAB I
APRESIASI KARYA SASTRA
A. PENGERTIAN
APRESIASI SASTRA
Istilah apresiasi berasal
dari bahasa Latin apreciatio yang
berarti ‘mengindahkan’ atau ‘menghargai’. Secara terminologi, apresiasi sastra
dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya
sastra, baik yang berupa prosa fiksi, drama, maupun puisi (Dola, 2007). Dalam konteks yang lebih luas,
istilah apresiasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan
atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai
keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba
berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti,
yakni 1) aspek kognitif, 2) aspek emotif, dan 3) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan
dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan
yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut,
selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung
dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan
unsur-unsur di luar teks yang secaralangsung menunjang kehadiran teks sastra
itu sendiri.
Aspek emotif berkaitan
dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan
dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan
dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu
dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau bersifat
konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan
tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.
Aspek evaluatif
berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah
tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak
harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki
oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini
masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu meresponsi teks
sastra yang dibaca sampai pada tahapan
pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu
melaksanakan penilaian.
Sejalan dengan rumusan
pengertian di atas, Effendi dalam (Aminuddin,2002) mengemukakan bahwa apresiasi
sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh
sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Juga disimpulkan bahwa
kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan
rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap
sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari
hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.
Belajar apresiasi sastra
pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya
sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam
hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang
terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat
diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Seiring dengan dinamika peradaban yang
terus bergerak menuju proses globalisasi, sastra menjadi makin penting dan
urgen untuk disosialisasikan dan "dibumikan" melalui institusi pendidikan.
Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan
kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para
keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global dengan sikap
arif, matang, dan dewasa.
B. BEKAL AWAL
PENGAPRESIASI SASTRA
Kellet mengungkapkan bahwa
pada saat ia membaca suatu karya sastra, dalam kegiatan tersebut, ia selalu
berusaha menciptakan sikap serius, tetapi dengan suasana batin ruang.
Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra itu terjadi karena sastra
bagaimana pun lahir dari daya kontemplasi batin pengarang sehingga untuk
memahaminya juga membutuhkan pemilikan daya kontemplatif pembacanya, sementara
pada sisi lain, sastra merupakan bagian dari seni yang berusaha menampilkan
nilai-nilai keindahan yang bersifat actual dan imajinatiff sehingga mampu
memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya.
Sebab itulah tidak
berlebihan jika Boulton mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain menyajikan
nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan
kepuasan batin pembacanya,
juga mengandung pandangan yang
berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan
masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang
berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Kandungan makna
yang begitu kompleks
serta berbagai macam
nilai kehidupan tersebut dalam hal ini akan mewujudkan atau tergambar
lewat media kebahasaan, media tulisan, dan struktur wacana. Dengan demikian,
sastra, sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak cukup dipahami lewat
analisis kebahasaannya, lewat studi yang disebut teks grammar atau teks
linguistik, tetapi juga karena teks sastra bagaimana pun memiliki ciri-ciri
tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan lainnya.
Adanya ciri-ciri khusus
teks sastra itu, salah satunya ditandai oleh adanya unsur-unsur intrinsik karya
sastra yang berbeda dengan unsur-unsur yang membangun bahan bacaan lainnya. Dari
keseluruhan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cipta sastra sebenarnya
mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain 1) unsur
keindahan, 2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau
renungan tentang keagamaan, filsafat, politik serta berbagai macam kompleksitas
permasalahan kehidupan; 3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun
struktur wacana, serta 4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan
karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks.
Sejalan dengan kandungan
keempat aspek di atas, maka bekal awal yang harus dimiliki seorang calon
apresiator adalah 1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu
memahami maupun menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta
sastra, 2) pemilikan pengetahuan dan
pengalaman yang berhubungan
dengan masalah kehidupan
dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan
kehidupan ini secara
intensif—kontemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan
dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat atau psikologi; 3) pemahaman
terhadap aspek kebahasaan dan 4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta
sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.
Berbagai macam bekal
pengetahuan dan pengalaman di atas disebut sebagai bekal awal karena seperti telah diungkapkan
di depan, untuk mampu menggauli karya sastra. Pemilikan bekal pengetahuan dan
pengalaman daapat diibaratkan sebagai pemilikan pisau bedah, sedangkan kegiatan
menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan sehingga pisau itu
menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan
akrab dengan kegiatan membaca sastra.
C. KEGIATAN
LANGSUNG DAN TAK
LANGSUNG DALAM MENGAPRESIASI
SASTRA
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra sebenarnya bukan
merupakan konsep abstrak
yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu
kegiatan yang harus terwujud secara kongkret. Perilaku tersebut dapat dibedakan
ke dalam perilaku kegiatan langsung dan tak langsung.
Apresiasi sastra
secara langsung adalah
kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks
maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara
langsung itu dapat terwujud melalui kegiatan membaca, memahami, menikmati serta
mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, maupun teks
sastra yang berupa puisi.
Kegiatan langsung yang
mewujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi misalnya
saat anda melihat,
mengenal, memahami, menikmati,
ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pememtasan
drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di panggung terbuka. Bentuk
kegiatan ini secara kontinum harus dilakukan sungguh-sungguh, dan berulangkali.
Hal ini dimaksudkan seorang apresiator dapat
mengembangkan kepekaan pikiran
dan perasaan dalam
rangka mengapresiasi suatu karya sastra.
Kegiatan tak langsung
dapat dilaksanakan dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang
berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah, di koran, mempelajari penilaian
buku maupun esei yang membahas dan memberikan gambaran terhadap suatu karya
sastra serta mempelajari sejarah sastra. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra. Kegiatan menikmati
sastra seringkali diistilahkan dengan
‘menggauli’ sastra.
Kegiatan menggauli sastra
dapat berupa kegiatan yang bersifat reseptif dan dapat pula berupa kegiatan
yang bersifat kreatif. Menggauli sastra secara reseptif adalah menikmati
hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk sastra (puisi-prosa-drama),
misalnya memperhatikan/mendengarkan deklamasi/baca puisi, menonton pementasan
drama, membaca pemahaman (dalam hati) cerita atau puisi. Sedangkan menggauli
sastra secara kreatif kegiatan yang mengharapkan adanya
penciptaan bentuk-bentuk sastra
secara lisan atau tertulis, misalnya menulis cerpen atau
puisi, membaca puisi, mendeklamasi puisi, mementaskan drama.
Kegiatan menggauli
sastra secara reseptif
berkaitan erat dengan kegiatan menggauli sastra secara
kreatif dalam mengantar seseorang menjadi ”sastrawan”. Dengan banyak menggauli
sastra secara reseptif merupakan tangga awal untuk dapat menjelajah pergaulan
sastra lebih tinggi tingkatannya. Dengan banyak membaca karya sastra orang lain
akan membentuk suatu pemahaman utuh yang berujung pada terbentuknya gaya
pribadi kreatif yang berbeda dengan orang lain (Khalik, 2007).
BAB II
KONSEP APRESIASI PROSA FIKSI
A. UNSUR-UNSUR
INTRINSIK DALAM PROSA FIKSI
Istilah prosa fiksi
seringkali disebut dengan karya fiksi. Yang dimaksud dengan prosa fiksi adalah
kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan
latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil
imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
Sebagai salah satu genre
sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi, 1) pengarang atau narator,
2) isi penciptaan, 3) media penyampai isi berupa bahasa, dan 4) elemen-elemen
fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri
sehingga menjadi menjadi suatu wacana.
Pada sisi
lain, dalam memaparkan
isi tersebut, pengarang
akan memaparkannya lewat 1)
penjelasan atau komentar,
2) dialog maupun monolog, dan 3) lewat lakuan atau action.
1. Setting
Setting merupakan peristiwa-peristiwa dalam
cerita fiksi yang dilatarbelakangi oleh tempat, waktu,
maupun situasi tertentu. Namun, setting bukan hanya bersifat fisikal
dalam suatu cerita fiksi. Ia juga bersifat psikologis yang mampu menuansakan
makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang
menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.
Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca
cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting
yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. Setting
yang mampu menuansakan suasana-suasana tertentu terjadi akibat penataan setting
yang berhubungan dengan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu
cerita. Suasana penuturan itu sendiri dibedakan antara tone sebagai suasana penuturan
yang berhubungan dengan
sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya, dengan mood yang berhubungan dengan suasana
batin individual pengarang dalam mewujudkan suasana cerita. Sementara suasana
cerita yang ditimbulkan oleh setting maupun implikasi maknanya
dalam membangun suasana
cerita disebut dengan atmosfer.
Sewaktu menelaah
unsur setting dalaam suatu karya
fiksi, terkadang kita menemui kendala dalam hal pengidentifikasiannya. Hal ini
tentu saja menyulitkan beberapa penelaah, terutama bagi pemula. Oleh karena
itu, berikut ini beberapa hal pertanyaan yang dapat membantu seseorang untuk
memudahkan dalam mengidentifikasi setting dalam suatu karya fiksi.
a. Adakah unsur setting dalam
karya fiksi yang saya baca?
b. Apabila ada, setting itu meliputi setting apa saja; tempat, waktu, peristiwa,, suasana
kehidupan ataukan benda-benda dalam lingkungan tertentu.
c. Apakah setting itu
semata-mata bersifat fisikal atau berfungsi sebagai dekor saja, ataukah
bersifat psikologis.
d. Bila bersifat psikologis,
kandungan makna apa dan suasana bagaimana yang dinuansakannya
e. Bagaimanakah hubungan setting dalam karya fiksi yang saya
baca dengan tema yang mendasarinya
Keseluruhan pertanyaan di
atas hanya merupakan gambaran umum, karena pada dasarnya tidak semua karya
fiksi mampu menampung dan memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
itu. Dengan demikian, sifatnya luwes dan harus disesuaikan
dengan karakteristik karya fiksi yang dibaca.
Tang (2007) mengemukakan
bahwa berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam suatu
rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan mutlak antara sebuah
peristiwa dengan waktu dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala alamiah. Tak
satupun makhluk atau apa pun juga namanya, bergerak dalam kehampaan. Secara
sederhana, Sudjiman (1992) mengatakan bahwa segala keterangan, petunjuk,
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra; semua turut membangun latar cerita.
2. Unsur Gaya dalam Karya Fiksi
Istilah gaya
mengandung definisi cara
seseorang menyampaikan gagasannya
dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara seorang pengarang
mengungkapkan gagasannya dapat dilihat pada penggunaan wacana ilmiah dan wacana
sastra. Dalam wacana ilmiah, seorang pengarang akan menggunakan gaya yang
bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung
makna konotatif. Sedangkan dalam
wacana sastra, pengarang
akan menggunakan pilihan
kata yang mengandung makna padat,
reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimatnya
juga mengandung adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan
dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja.
3. Penokohan dan Perwatakan
Boulton mengungkapkan
bahwa seorang pengarang
dapat menggambarkan dan memunculkan tokohnya melalui cara yang beragam.
Pengarang dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam
mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam hidupnya,, pelaku yang
memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun
pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri.
Boulton membedakan
beberapa peran yang berbeda dalam sebuah cerita fiksi, yakni:
a. Tokoh inti atau tokoh
utama adalah seorang tokoh yang memiliki peranan yang penting dalam sebuah
cerita.
b.
tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki
peranan yang tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani,
mendukung pelaku utama.
Dalam menentukan peran
tokoh utama dan tokoh pembantu dapat diketahui
melalui beberapa cara yakni,
a. Seorang pembaca dapat
menentukannya dengan cara melihat keseringan pemunculannya dalam suatu cerita.
b.
juga dapat ditentukan
melalui petunjuk yang
diberikan oleh pengarangnya. Tokoh
utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh
pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya.
c.
dapat ditentukan dengan cara melihat judul cerita, misalnya
judul Siti Nurbaya.
Sewaktu pengarang
menentukan tokoh dalam ceritanya, maka dia juga akan menentukan watak atau
karakter tokoh tersebut. Istilah protagonis,
biasanya diberikan kepada pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga
disenangi pembaca. Istilah antagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak
yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pembaca.
Dalam upaya
memahami watak pelaku,
seorang pembaca dapat menelusurinya dengan cara:
a.
Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
b.
gambaran yang diberikan
pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya
berpakaian;
c.
menunjukkan bagaimana perilaku;
d.
melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri;
e.
memahami bagaimana jalan pikirannya;
f.
melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
g.
melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;
h.
melihat bagaimana tokoh-tokoh
yang lain tidak memberikan reaksi terhadapnya;
i. melihat bagaimana tokoh
itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
Selain beberapa ragam
pelaku yang disebutkan di atas, juga masih ada beberapa ragam pelaku lainnya,
di antaranya sebagai berikut:
a.
simple character, ialah bila pelaku itu tidak banyak menunjukkan adanya
kompleksitas masalah. Pemunculannya hanya
dihadapkan pada satu permasalahan tertentu yang tidak banyak
menimbulkan adanya obsesi-obsesi lain yang kompleks;
b.
complex character, ialah pelaku yang pemunculannya banyak
dibebani permasalahan. Selain itu, pelaku juga banyak ditandai oleh munculnya
obsesi batin yang cukup kompleks sehingga
kehadirannya banyak memberikan gambaran
perwatakan yang kompleks. Biasanya sering dialami oleh pelaku
utama.
c.
Pelaku dinamis, ialah pelaku yang memiliki perubahan atau perkembangan
batin dalam keseluruhan penampilannya.
d. Pelaku statis, ialah
pelaku yang tidak menunjukkan perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu
muncul sampai akhir cerita.
4. Alur
Alur dalam karya fiksi
merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
cerita. Istilah alur sering disebut plot. Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat
Forster dalam (Tang. 2007) bahwa untuk memahami alur dengan baik, dibutuhkan
intelegensi dan daya ingat/memori (intelligency and memory) yang kuat. Hal ini
berdasarkan pada konsep, bahwa dalam sebuah cerita yang bersifat narasi,
terdapat kejadian atau fakta yang terorganisir dan bersiifat korespondensi,
tetapi ada juga unsur yang bersifat surprise atau bersifat misteri dalam sebuah
alur dan hal ini tetntunya menginginkan sebuah intelegensi yang tinggi.
Secara khusus, dengan
mengutip pendapat Scholes dalam (Tang : 2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga
elemen penting dalam sebuah alur, yakni: alur aksi/tindakan, alur karakter, dan
alur pikiran. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Alur aksi/tindakan, merupakan prinsip perpaduan (sintesis)
yakni perubahan sempurna, berangsur-angsur atau mendadak dalam suatu situasi
oleh pelaku utama (protagonist), yang ditentukan atau dipengaruhi oleh karakter
dan pikiran;
b.
Alur karakter, pada dasarnya ini sebuah proses sempurna dari
perubahan dalam karakter moral protagonist, dengan cepat atau lambat dalam
tindakan dan ia menunjukkannya dalam dua sisi yaitu dalam pikiran serta
perasaan;
c. Alur pikiran merupakan
sebuah proses sempurna dari perubahan dalam pikiran protagonist sebagai akibat
dari perasaannya, yang secara langsung dijelmakan ke dalam tindakan atau
karakternya sebagai suatu kebiasaan.
Lebih lanjut, Tang (2007)
mengemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam suatu aluir adalah munculnya
konflik dan klimaks dalam cerita narasi tersebut. konflik dalam karya fiksi terdiri
atas: 1) konflik internal, pertentangan dua keinginan dalam diri seorang tokoh;
2) konflik sentral, yaitu konflik antara satu
tokoh dengan tokoh
lain, ataukah konflik
antara tokoh dengan lingkungannya; dan 3) konflik sentral,
merupakan jenis konflik kecil. Artinya, bahwa mungkin saja konflik yang terjadi
dapat berupa konflik internal ataukah konflik eksternal yang kuat, mungkin pula
gabungan dari keduanya. Konflik sentral inilah yang merupakan inti dari
struktur cerita, dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan alur.
5. Titik Pandang atau point of v
iew
Titik pandang adalah cara
pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Ada empat
titik pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya, yakni sebagai berikut:
a.
Narrator omniscient, adalah narator atau pelaku kisah yang
juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini dia mampu memaparkan
sejumlah peran pelaku tentang apa yang ada dalam benak pelaku uatama maupun
pelaku lainnya, baik secara fisik maupun psikologis; pengarang sering menyebut
dirinya dengan aku, saya, nama pengarang sendiri;
b.
Narrator observer,
adalah bila pengisah
hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para
pelaku serta hanya tahu dalam batas
tertentu tentang perilaku
batiniah para pelaku;
pengarang menyebutkan nama pelakunya dengan ia, dia, nama-nama lain, dan
c.
mereka.
d.
Narrator observer omniscient,
ialah meskipun pengarang
hanya menjadi pengamat dari pelaku, juga merupakan pengisah atau penutur
yang serba tahu, meskipun menyebut nama pelaku dengan is, mereka, dan dia. Hal
ini mungkin saja terjadi karena pengarang prosa fiksi adalah juga merupakan
pencipta dari para pelakunya.
e. Narrator the third person
omniscient,
ialah pengarang mungkin saja hadir di dalam cerita yang diciptakannya sebagai
pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini, sebagai pelaku ketiga pengarang
masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, saya, atau aku.
Luxemberg, et al (1987)
menjelaskan bahwa adakalanya suatu cerita secara berturut-turut menampilkan berbagai
pencerita atau pengisah. Perkataan seorang dengan yang lain saling bergantian
sehingga keseluruhan penuturan mereka membentuk cerita besarnya. Dalam hal ini
kedudukan semua pencerita sederajat. Sehingga tepatlah kalau Luxemburg, et al
mengatakan bahwa setiap cerita mana pun,
pastilah ada penceritanya.
Kadang-kadang ia memperkenalkan
diri, kadang-kadang kehadirannya harus kita simpulkan saja dari kenyataan bahwa
cerita iru diceritakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa titik pandang
oleh seorang pengarang dapat berganti sesuai dengan penceritaan yang dikisahkan
oleh pengarang itu sendiri.
6. Tema
Scharbach dalam (Aminuddin, 2002) menjelaskan tema
sebagai sebuah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
Sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, seorang pengarang harus
memahami tema cerita yang akan dipaparkannya sehingga pembaca mudah memahami
tema pada saat membaca atau selesai membacanya.
Pradotokusumo (1992)
mengemukakan pengertian tema dipandang dari sudut cerita narasi (Novel/cerpen) dalam dua
makna, yakni: 1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan yang dominant di
dalam suatu karya sastra; 2) pesan atau nilai moral yang terdapat secara implicit
di dalam karya seni. Batasan yang kedua ini lebih mengacu pada batasan amanat.
Untuk dapat
memahami tema dalam
suatu cerita secara
mudah, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut ini.
a.
Memahami setting dalam cerita fiksi yang dibacanya;
b.
memahami penokohan dan perwatakan para pelaku;
c.
memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan
peristiwa dalam karya fiksi yang dibacanya;
d.
memahami plot atau alur cerita yang dibacanya;
e.
menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya
yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita;
f.
menentukan sikap penyair
terhadap pokok-pokok pikiran
yang ditampilkannya;
g.
mengidentifikasi
tujuan pengarang memaparkan
ceritanya dengan bertolak dari satuan
pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya;
h. menafsirkan tema dalam
cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan
merupakan ide dasar yang dipaparkan pengarangnya.
BAB III
KONSEP APRESIASI PUISI
A. APA ITU
PUISI?
Di banyak kalangan,
mendefinisikan puisi secara terbuka merupakan hal yang masih sulit dilakukan.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya pendapat tentang puisi. Akan tetapi,
perumusan tentang puisi tidak begitu penting, karena yang paling penting adalah
pembaca dapat memahami dan menikmati puisi yang ada.
Secara etimologi, istilah
puisi berasal dari bahasa Yunani pocima
‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut
poem atau poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’,
karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia
tersendiri, yang mungkin berisi pesan, atau gambaran suasana-suasana tertentu,
baik fisik maupun batiniah.
Dalam Aminuddin (2002),
Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah salah
satu cabang sastra
yang menggunakan kata-kata
sebagai media penyampaian untuk
membuahkan ilusi dan imajinasi. Penggunaan kata-kata dalam puisi, tentu saja
bersifat kiasan. Anggapan lain mengenai puisi adalah bahwa puisi merupakan
pengungkapan perasaan (Luxemburg, et al : 1987). Jadi, menurutnya bahwa bahasa
puisi itu merupakan bahasa yang berperasaan dan subjektif. Anggapan ini muncul
pada zaman Romawi yang menganggap bahasa puisi lahir dari perasaan yang ada
dalam penyairnya. Sehingga perasaan pada zaman tersebut menjadi pusat
perhatian. Puisi mengungkapkan keadaan hati. Akan tetapi, di sisi lain,
terutama dalam perkembangan puisi saat ini, terdapat jenis puisi yang tidak
memperhitungkan perasaan, dalam hal ini bahasa yang digunakan sangat lugas dan
mudah dipahami oleh pembacanya. Biasanya disebut puisi prosa.
Wordsworth (dalam Pradopo,
1995:6) mengemukakan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif,
yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Selain pandangan tersebut,
pandangan lain menjelaskan bahwa puisi adalah seni peniruan atau simbol bicara
yang bertujuan untuk mengajar atau kesenangan. Puisi berupa luapan perasaan
secara spontan yang bersumber dari perasaan yang berkumpul dalam ketenangan.
Puisi dianggap sebagai lahar dingin yang menahan terjadinya gempa. Puisi adalah
ekspresi konkret dan artistik pemikiran manusia dalam bahasa yang emosional
yang berirama. Puisi adalah
ekspresi pengalaman yang
bernilai dan berarti sederhana dan
disampaikan dengan bahasa
yang tepat. Puisi
adalah pendramaan pengalaman yang
bersifat menafsirkan dalam
bahasa yang berirama (Tang,
2007). Adapun batasan puisi menurut Waluyo (1987:25) menyatakan bahwa puisi
adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair
secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa
dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batin.
B. MACAM-MACAM
PUISI
Melengkapi pengertian
puisi di atas, pada bagian ini akan diuraikan tentang macam-macam puisi. Waluyo
(1987) membagi puisi menjadi sepuluh macam, untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada uraian berikut.
1. Puisi naratif, lirik, dan
deskriptif
Pembagian puisi ini
didasarkan atas cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak
disampaikan.
a.
Puisi naratif , yaitu
puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair (berisi
cerita). Balada adalah puisi yang berisi cerita tentang orang-orang
perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Romansa
adalah jenis puisi cerita yang mengungkapkan bahasa romantik
yang berisi kisah
percintaan yang berhubungan
dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah
percintaan mereka lebih mempesonakan.
b.
Puisi lirik , yaitu penyair
mengungkapkan gagasan pribadinya.
Jenis puisi lirik misalnya, elegi,
ode, dan serenada. Serenada
ialah sajak yang dapat dinyanyikan. Kata ”serenada” berarti nyanyian yang tepat
dinyanyikan pada waktu senja. Ode adalah
puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau keadaan.
c. Puisi deskriptif, yaitu
jenis puisi yang mengungkapkan tindakan
penyair sebagai pemberi
kesan terhadap keadaan/peristiwa,
benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi ini
misalnya, puisi-puisi impresionostik, satire, dan kritik sosial.
Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap
suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Kritik
sosial adalah puisi yang juga
menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap suatu keadaan atau
seseorang, namun dengan cara
membeberkan kepincangan atau
ketidakberesan keadaan/orang tersebut.
2. Puisi kamar dan puisi auditorium
Puisi-puisi auditorium
disebut juga puisi
Hukla (puisi yang mementingkan suatu atau serangkaian
suatu). Puisi kamar ialah puisi
yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja dalam
kamar. Sedangkan puisi
auditorium adalah puisi yang cocok
untuk pembaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan
orang. Puisi
auditorium disebut juga puisi oral karena cocok
untuk dioralkan.
3. Puisi fisikal, platonik, dan
metafisika
Pembagian puisi ini
berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam suatu puisi. Puisi fisikal
bersifat realistis artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Puisi
platonik adalah puisi yang
sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual dan kejiwaan. Puisi metafisikal adalah puisi yang
bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan Tuhan. Puisi relegius di
satu pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan
penyair) di lain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan
hidup, kehidupan, dan Tuhan).
4. Puisi subyektif dan puisi obyektif
Puisi subyektif
(puisi personal) adalah puisi yang
mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair
sendiri. Adapun puisi obyektif adalah puisi yang mengungkapkan hal-hal di
luar diri penyair itu sendiri.
5. Puisi konkret
Puisi konkret adalah puisi yang
bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut penglihatan.
Bentuk konkret tersebut dapat berupa bentuk grafis, kaligrafi, ideogramatik,
atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menunjukkan pengimajian kata
lewat bentuk grafis. Puisi konkret ada yang berbentuk segitiga, kerucut, belah
ketupat, piala, tiang lingga, bulat telur, spidle, ideografik, dan ada juga
yang menunjukkan lambang tertentu.
7. Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi diafan atau puisi polos
adalah puisi yang
kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga puis ini mirip dengan
bahasa sehari-hari. Adapun puisi prismatis justru sebaliknya. Dalam puisi
prismatis penyair mampu
menyelaraskan kemampuan
menciptakan majas, verifikasi,
diksi, dan pengimajian
sedemikian rupa
sehingga pembaca tidak terlalu gelap. Pembaca tetap
dapat menelusuri makna. puisi itu. Namun, makna itu bagaikan sinar yang keluar
dari prisma.
8. Puisi parnasian dan puisi
inspiratif
Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu
atau pengetahuan dan bukan didasarkan oleh inspirasi karena adanya mood dalam
jiwa penyair. Adapun puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood. Penyair benar-benar masuk ke
dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar
terlibat ke dalam puisi.
9. Stansa
Stansa berarti puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa
berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan
pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam stansa
seluruh puisi terdiri atas 8 baris.
10. Puisi demonstrasi dan pamflet
Puisi demonstrasi menyaran pada puisi-puisi Taufik
Ismail dan mereka yang Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini melukiskan dan
merupakan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMMI-KAPPI –
sekitar tahun 1966. Menurut Subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi
1966. bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan
individu.
Puisi
pamflet adalah puisi
yang bahasanya menggunakan
bahasa pamflet. Puisi ini juga mengungkapkan protes sosial. Kata-kata
dalam puisi ini mengungkapkan rasa tidak puas pada keadaan. Kata-kata tersebut
muncul tanpa melalui proses pemikiran atau perenungan yang mendalam.
11.
Alegori
Puisi yang mengungkapkan cerita dengan maksud untuk
memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal
adalah parabel yang juga disebut dengan dongeng perumpamaan.
C. APRESIASI PUISI
Puisi selalu terkait
dengan emosi, pengalaman, sikap, dan pendapat-pendapat tentang situasi atau
kejadian yang ditampilkan secara abstrak atau implisit. Oleh karena itu,
pemahaman sebuah puisi juga diperlukan keterlibatan emosi, pengalaman
estetis, dan intuisi-intuisi. Bekal
semacam itu akan menolong siswa untuk menikmati puisi. Di
sinilah letak strategi puisi yang ibarat sebuah tanaman mempesona, penuh arena
bermain, penuh hiburan, dan penuh keindahan alamiah yang anggun. Dampaknya,
tentu pembelajaran tetap akan berjalan dengan baik tanpa membuat siswa
mengawang dalam belajar, melainkan menikmati.
Terkait dengan hal
tersebut, Aftaruddin (dalam Endaswara, 2005) menyatakan bahwa
’peristiwa besar’ menikmati
puisi pada hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara
intens, secara mendalam. Pembelajaran tidak sekadar membaca huruf-huruf,
tapi menempatkan diri sebagai pencipta sehingga antara penikmat dengan penyair
seakan-akan tidak ada jarak. Konteks itu menghendaki pembelajaran yang
sungguh-sungguh ada keterlibatan jiwa, tetapi tetap tidak membuat jiwa tegang.
Bahkan, diharapkan pembelajaran tersebut menjadi sebuah momen refreshing.
Suatu istilah yang sering
rancu dalam pembelajaran puisi adalah ihwal pengkajian. Pembelajaran
puisi tidak menolak
pengkajian, namun, ada beberapa
perbedaan, dalam pengkajian
puisi lebih diarahkan
pada penyelidikan, apresiasi lebih menuju ke arah pemahaman. Pemahaman
lebih banyak terkait dengan
aspek pragmatik penikmatan
dan bukan sekadar membedah isi puisi secara mekanik
seperti lazimnya seorang peneliti puisi.
Dengan modal nikmat, siswa akan paham, karena dalam
kejiwaan mereka timbul penghayatan dan pengenalan terhadap puisi. Satu hal yang
penting dalam apresiasi puisi adalah bukan hasil (nilai), bukan pula yang telah
hafal judul-judul dan pencipta
puisi. Namun, apresiasi
puisi adalah proses pemahaman dan pengenalan yang tepat;
pertimbangan dan penilaian serta pernyataan
yang memberikan penilaian
terhadap puisi.Oleh sebab
itu, Atmazaki (1993) memberikan penegasan bahwa apresiasi adalah kegiatan:
(1) untuk merespon suatu (puisi), melakukan kontak sehingga ada efek,
resepsi, dan persepsi, dan
(2) memberikan pertimbangan terhadap sesuatu untuk memberikan penilaian.
D. PEMAKNAAN
BENTUK LEWAT SEMIOTIKA
Dalam teks, semiotika
dipandang sebagai sebuah realitas yang dihadirkan di hadapan pembaca yang
mengandung potensi komunikatif. Pemilikan potensi komunikatif ditandai dengan
digunakannya lambang-lambang kebahasaan di dalamnya, berupa lambang artistic
yang berbeda dengan lambang kebahasaan lainnya.
Upaya pemahaman
terhadap lambang teks
sastra tersebut sangat beragam. Akan tetapi, sesuai dengan
terdapatnya empat dimensi dalam teks sastra, yakni 1) sastra sebagai kreasi
ekspresi, 2) sastra sebagai pemapar realitas, 3) sastra sebagai kreasi
penciptaan yang menggunakan media berupa bahasa, dan sastra sebagi teks yang
memiliki potensi komunikasi dengan pembaca.
Pierce seorang
pelopor semiotika membedakan lambang
atas tiga bentuk yakni, 1) ikon,
yakni bilaman lambang tersebut sedikit banyaknya menyerupai apa yang
dilambangkan, seperti foto dari seseorang atau ilustrasi, 2) indeks, yakni bila
lambang itu masih mengasosiasikan adanya hubungan dengan lambang yang lain,
misalnya rokok dengan api, 3) simbol, yakni bila secara arbitrer maupun
konvensional, lambang itu masih menunjuk pada referen tertentu dengan acuan
makna yang berlainan.
E. PEMAHAMAN
LAPIS MAKNA PUISI
Aminuddin mengungkapkan
bahwa lapis makna adalah unsur yang tersembunyi di balik struktur bangun. Unsur
lapis makna sulit dipahami sebelum seorang pembaca bisa memahami bangun
struktur puisi tersebut. Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi
yang dapat diamati secara visual.
Berikut ini diuraikan
struktur yang membangun fisik yang terdiri atas dua jenis yakni sebagai
berikut:
1. Struktur batin puisi (Hakikat
puisi)
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan puisi. I. A. Richards (dalam Waluyo, 1987)
menyebut makna atau struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Ada empat
unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling),
nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention).
a. Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh
penyair. Pokok pikiran tersebut menguasai jiwa penyair sehingga menjadi
landasan utama pengucapannya. Tema harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan
konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh
karena itu, tema
bersifat khusus (penyair), tetapi
obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Ada beberapa
macam tema sesuai dengan Pancasila, yaitu: tema ketuhanan, tema kemanusiaan,
tema patriotisme/kebangsaan, dan tema keadilan sosial.
b. Perasaan penyair (feeling)
Perasaan penyair (feeling) merupakan faktor
yang mempengaruhi dalam penciptaan puisi. Suasana perasaan penyair ikut
diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Dalam mengungkapkan tema
yang sama, antara penyair yang satu akan berbeda dengan penyair yang lain,
sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda.
c. Nada dan suasana
Dalam apresiasi puisi, penyair mempunyai sikap
tertentu terhadap pembaca, apakah dia
ingin bersikap menggurui,
menasihati, mengejek, menyindir,
atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair
kepada pembaca inilah yang disebut nada puisi. Adapun yang dimaksud dengan
suasana dalam puisi adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau
akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana
puisi saling berhubungan karena nada menimbulkan puisi menimbulkan suasana
terhadap pembacanya.
d. Amanat (pesan)
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk
menciptakan puisi. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga
berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh
penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak
penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan penyair.
2. Struktur fisik puisi (Metode
puisi)
Adapun unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi
diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar
puisi. Berikut akan diuraikan lebih lanjut.
a. Diksi (pilihan kata)
Seorang penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata
sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi
dalam rimadan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan
kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.
b. Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata
konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu
kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan,
pendengaran, atau cita rasa.
c. Kata konkret
Untuk
membangkikan imaji (daya bayang),
maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu
dapat menyaran pada arti yang menyeluruh.
d. Bahasa figuratif (majas)
Penyair
menggunakan bahasa yang
bersusun-susun atau berfigura sehingga disebut bahasa figuratif.
Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak
makna atau kaya akan makna.
e. Verifikasi (rima, ritma, dan metrum)
Rima adalah pengulangan
bunyi dalam puisi
untuk membentuk musikalitas atau
orkestra. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Ritma
sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan
bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritme berbeda dengan metrum. Metrum
berupa pengulangan tekanan
kata yang tetap.
Metrum sifatnya statis (Waluyo, 1987).
F. DEKLAMASI
PUISI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK APRESIASI PUISI
Sebuah puisi barulah
terasa keindahannya jika dibaca dengan irama yang baik.
Irama ini akan
jelas menonjol pada
saat puisi tersebut dideklamasikan. Deklamasi berasal
dari bahasa Latin yaitu declamare
atau declaim yang memiliki arti membaca suatu hasil sastra yang berbentuk
puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu (Situmorang, 1974). Gerak
yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama dengan isi
bacaan.
Tentang pengertian
deklamasi, Syahril Adlar
dalam bukunya Deklamasi mengemukakan
beberapa rumusan (1) Ajip Rosidi menyatakan ”Seni deklamasi ialah suatu seni
sastra lisan yang disertai dengan gaya, mimik, intonasi, tempo, dan interpresi
yang baik. (2) M. Hussyn Umar menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni
menafsirkan kembali ciptakan seseorang yang disertai ekspresi,
mimik, dan irama
yang baik.” (3)
Abdul Muthalib menyatakan: ”Seni
deklamasi ialah seni menyatakan kembali ciptaan seseorangdengan keselurhan jiwa
disertai irama tanpa
nada dan berusaha
lebih mendekatkan isi/maksudnya kepada pendengarnya” (Situmorang, 1974).
Dari uraian-uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa deklamasi itu pasti
maksudnya adalah mengucapkkan sebuah prosa atau puisi (bentuk yang paling
umum di
Indonesia ialah puisi)
dengan cara sebaik-baiknya dengan memperhatikan syarat-syarat seperti
diuraikan di bawah ini.
a. Pemahaman. Seorang
pendeklamasi yang belum paham isi/maksud sebuah
puisi tidak akan mungkin dapat mendeklamasikan puisi
tersebut dengan baik.
b.
Peresapan. Sebuah puisi
yang akan dideklamasikan haruslah
diresapkan benar-benar dalam hati hingga seakan-akan menjadi milik si
pendeklamasi sendiri. Pendeklamasi
bertugas sebagai juru bicara yang harus dapat meyakinkan dan menikmatkan
hati si pendengar. Oleh karena itu, tanpa peresapan yang baik dan meyakinkan
tidak mungkin akan
dapat menikmatkan hati pendengar
c.
Ekspresi. Pendeklamasi harus memantulkan puisiitu pada
pendengarnya. Berhasil tidaknya usaha yang
dilakukan pendeklamasi untuk menikmatkan hati orang lain, tergantung
sampai mana kemampuannya mengekspresikan puisi itu. Terkait dengan ekspresi,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu daya hafal,
pengucapan, irama, batas sintaksis, mimik, dan gerak gerik.
Daya hafal. Sebuah deklamasi
sebenarnya dapat dilakukan dengan mempergunakan catatan. Akan tetapi
mempergunakan catatan akan sangat sering mengganggu sebab dengan jalan berulang-ulang
pendeklamasi melihat ke arah catatannya, akan berakibat yang luas, yakni maksud
puisi tersebut dan juga berakibat pendengar
akan terganggu. Oleh
karena itu, sebaiknya pendeklamasi puisi harus mempunyai
daya hafal yang sebaik-baiknya.
Pengucapan. Salah satu hal
yang sangat penting
mendapatkan perhatian pada setiap kesempatan berdeklamasi adalah ucapan.
Pengucapan dalam berdeklamasi haruslah dijaga semurni dan sebaik mungkin,
jangan terlampau dipengaruhi oleh ucapan bahasa daerah atau sekali-kali jangan
pula mengarah pada ucapan bahasa asing. Dalam hubungan inilah pengucapan tidak
dapat dipisahkan dari intonasi. Dari ucapan dan intonasi seseorang akan dengan
cepat memberi petunjuk, apakah seseorang cocok untuk berdeklamasi atau tidak.
Irama. Irama merupakan faktor yang utama
untuk menghidupkan puisi sebab irama merupakan jiwa pendeklamasian puisi. Tanpa
irama yang baik, pastilah seorang pendeklamasi tidak akan mungkin berhasil
dalam deklamasi. Dalam hal ini, seorang pendeklamasi harus tahu pada bagian
mana suara perlu dikeraskan, ditinggikan, atau dilambatkan.
Batas
sintaksis. Batas perhentian suara (sintaksis) ini sangat penting agar
jelas pada bagian-bagian mana seseorang berhenti untuk menarik nafas, hingga
pokok-pokok pikiran dalam puisi itu jelas dikemukakan. Jadi, sebelum
mendeklamasikan puisi harus ditandai lebih dahulu dimaksud penciptanya tidak
menjadi kacau-balau.
Mimik. Setelah puisi itu benar-benar meresap
ke dalam jiwa seseorang pendeklamasi
akan dengan mudah
terlihat dari mimiknya.
Jadi, mimik merupakan petunjuk
apakah seseorang sudah benar-benar dapat menjiwai atau meresapkan puisi
itu dengan sebaik-baiknya. Harmonisasi
antara mimik dengan isi (maksud)
puisi merupakan puncak keberhasilan sebuah deklamasi.
Gerak-gerik dalam deklamasi walaupun
bukan keharusan tapi sangat sering menolong
untuk menjiwai dan
menghidupkan sebuah puisi (Situmorang, 1974).
Pada saat mendeklamasikan
puisi akan muncul rasa emosionil –artistik. Hampir semua siswa akan tergugah
rasa emosionil – artistiknya bila mendengar sebuah deklamasi yang berhasil
dibawakan di depan kelas. Hal itu terlihat dari tepuk tangan yang riuh dan
wajah mereka yang merasa puas bila seorang temannya dengan indah
mendeklamasikan sebuah puisi.
Memang tidak semua siswa
dapat mendeklamasikan puisi dengan baik tapi pastilah jika guru membimbing
mereka, paling tidak siswa-siswa dapat menghargai dan
menikmati sebuah puisi
yang berhasil dideklamasikan (Situmorang, 1974).
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2002.
Pengantar Apresiasi Karya Sastra..Bandung: Sinar
Baru Algesindo.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan
Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Khalik, Suhartini. 2008. “Penerapan Metode Kooperatif
Tipe STAD untuk Meningkatkan Pembelajaran Apresiasi Puisi pada Siswa Kelas XI
Bahasa SMA Negeri 1 Pancarijang Kabupaten Sidrap.”
Tesis. Tidak diterbitkan. Makassar: PPs UNM
Luxemburg, Jan Van,et.al. 1986. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: Gramedia
-------------------------------. 1987. Tentang
Sastra. Diterjemahkan oleh Akhdiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia
di Sekolah. Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari
2008.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat. 1995. Pengkajian Puisi. Jakarta:
Rineka Cipta. Sakdiyah.
Mislinatul. Menggauli Puisi
Lewat Lagu. Online (http://cybersastra.net). Diakses 19
Januari 2007.
Sarjono, Agus R. 2001.
Sastra dan Empat ORBA. Yogyakarta : YayasanBentang Budaya.
Tang,
Muhammad Rapi. 2007. Pengantar
Teori Sastra Yang Relevan.Makassar: PPs UNM
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra.
Ende: Nusa Indah
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.
Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga.
Wellek,
Rene dan Warren,
Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wijaya,
Putu. 2007. Pengajaran
Sastra. Diakses dari
Http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra