Rabu, 20 Mac 2013

APRESIASI KARYA SASTRA


BAB I
APRESIASI KARYA SASTRA

A. PENGERTIAN APRESIASI SASTRA
Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin  apreciatio yang berarti ‘mengindahkan’ atau ‘menghargai’. Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berupa prosa fiksi, drama, maupun puisi (Dola, 2007).  Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni 1) aspek kognitif, 2) aspek emotif, dan 3) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut, selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks yang secaralangsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri.
Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau bersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.
Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan
pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.
Sejalan dengan rumusan pengertian di atas, Effendi dalam (Aminuddin,2002) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra  secara sungguh-sungguh  sehingga  menumbuhkan  pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Juga disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.
Belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, sastra menjadi makin penting dan urgen untuk disosialisasikan dan "dibumikan" melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.

B. BEKAL AWAL PENGAPRESIASI SASTRA
Kellet mengungkapkan bahwa pada saat ia membaca suatu karya sastra, dalam kegiatan tersebut, ia selalu berusaha menciptakan sikap serius, tetapi dengan suasana batin ruang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra itu terjadi karena sastra bagaimana pun lahir dari daya kontemplasi batin pengarang sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan pemilikan daya kontemplatif pembacanya, sementara pada sisi lain, sastra merupakan bagian dari seni yang berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat actual dan imajinatiff sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya.
Sebab itulah tidak berlebihan jika Boulton mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu  memberikan  kepuasan  batin  pembacanya,  juga  mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Kandungan  makna  yang  begitu  kompleks  serta  berbagai  macam  nilai kehidupan tersebut dalam hal ini akan mewujudkan atau tergambar lewat media kebahasaan, media tulisan, dan struktur wacana. Dengan demikian, sastra, sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak cukup dipahami lewat analisis kebahasaannya, lewat studi yang disebut teks grammar atau teks linguistik, tetapi juga karena teks sastra bagaimana pun memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan lainnya.
Adanya ciri-ciri khusus teks sastra itu, salah satunya ditandai oleh adanya unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berbeda dengan unsur-unsur yang membangun bahan bacaan lainnya. Dari keseluruhan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain 1) unsur keindahan, 2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik serta berbagai macam kompleksitas permasalahan kehidupan; 3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta 4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks.
Sejalan dengan kandungan keempat aspek di atas, maka bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah 1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami maupun menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra, 2) pemilikan pengetahuan dan  pengalaman  yang  berhubungan  dengan  masalah  kehidupan  dan kemanusiaan, baik  lewat  penghayatan  kehidupan  ini  secara  intensif—kontemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat atau psikologi; 3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan dan 4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.
Berbagai macam bekal pengetahuan dan pengalaman di atas disebut sebagai  bekal awal karena seperti telah diungkapkan di depan, untuk mampu menggauli karya sastra. Pemilikan bekal pengetahuan dan pengalaman daapat diibaratkan sebagai pemilikan pisau bedah, sedangkan kegiatan menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan sehingga pisau itu menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan akrab dengan kegiatan membaca sastra.



C.  KEGIATAN  LANGSUNG  DAN  TAK  LANGSUNG  DALAM MENGAPRESIASI SASTRA
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra sebenarnya  bukan  merupakan  konsep  abstrak  yang  tidak  pernah terwujud  dalam tingkah laku, melainkan  merupakan pengertian  yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud secara kongkret. Perilaku tersebut dapat dibedakan ke dalam perilaku kegiatan langsung dan tak langsung.
Apresiasi  sastra  secara  langsung  adalah  kegiatan  membaca  atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung itu dapat terwujud melalui kegiatan membaca, memahami, menikmati serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, maupun teks sastra yang berupa puisi.
Kegiatan langsung yang mewujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi  misalnya  saat  anda  melihat,  mengenal,  memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pememtasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di panggung terbuka. Bentuk kegiatan ini secara kontinum harus dilakukan sungguh-sungguh, dan berulangkali. Hal ini dimaksudkan seorang apresiator dapat  mengembangkan  kepekaan  pikiran  dan  perasaan  dalam  rangka mengapresiasi suatu karya sastra.
Kegiatan tak langsung dapat dilaksanakan dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah, di koran, mempelajari penilaian buku maupun esei yang membahas dan memberikan gambaran terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra. Kegiatan menikmati sastra seringkali  diistilahkan dengan ‘menggauli’ sastra.
Kegiatan menggauli sastra dapat berupa kegiatan yang bersifat reseptif dan dapat pula berupa kegiatan yang bersifat kreatif. Menggauli sastra secara reseptif adalah menikmati hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk sastra (puisi-prosa-drama), misalnya memperhatikan/mendengarkan deklamasi/baca puisi, menonton pementasan drama, membaca pemahaman (dalam hati) cerita atau  puisi. Sedangkan  menggauli  sastra  secara  kreatif kegiatan  yang mengharapkan  adanya  penciptaan  bentuk-bentuk  sastra  secara  lisan  atau tertulis, misalnya menulis cerpen atau puisi, membaca puisi, mendeklamasi puisi, mementaskan drama.
Kegiatan  menggauli  sastra  secara  reseptif  berkaitan  erat  dengan kegiatan menggauli sastra secara kreatif dalam mengantar seseorang menjadi ”sastrawan”. Dengan banyak menggauli sastra secara reseptif merupakan tangga awal untuk dapat menjelajah pergaulan sastra lebih tinggi tingkatannya. Dengan banyak membaca karya sastra orang lain akan membentuk suatu pemahaman utuh yang berujung pada terbentuknya gaya pribadi kreatif yang berbeda dengan orang lain (Khalik, 2007).
























BAB II
KONSEP APRESIASI PROSA FIKSI

A. UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM PROSA FIKSI
Istilah prosa fiksi seringkali disebut dengan karya fiksi. Yang dimaksud dengan prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi, 1) pengarang atau narator, 2) isi penciptaan, 3) media penyampai isi berupa bahasa, dan 4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi menjadi suatu wacana.
Pada  sisi  lain,  dalam  memaparkan  isi  tersebut,  pengarang  akan memaparkannya  lewat  1)  penjelasan  atau  komentar,  2)  dialog  maupun monolog, dan 3) lewat lakuan atau action.

1. Setting
Setting merupakan  peristiwa-peristiwa  dalam  cerita  fiksi  yang dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Namun, setting bukan hanya bersifat fisikal dalam suatu cerita fiksi. Ia juga bersifat psikologis yang mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.
Untuk memahami  setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. Setting yang mampu menuansakan suasana-suasana tertentu terjadi akibat penataan setting yang berhubungan dengan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita. Suasana penuturan itu sendiri dibedakan antara  tone sebagai suasana  penuturan  yang  berhubungan  dengan  sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya, dengan  mood yang berhubungan dengan suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan suasana cerita. Sementara suasana cerita yang ditimbulkan oleh setting maupun implikasi  maknanya  dalam  membangun  suasana  cerita  disebut  dengan atmosfer.
Sewaktu menelaah unsur  setting dalaam suatu karya fiksi, terkadang kita menemui kendala dalam hal pengidentifikasiannya. Hal ini tentu saja menyulitkan beberapa penelaah, terutama bagi pemula. Oleh karena itu, berikut ini beberapa hal pertanyaan yang dapat membantu seseorang untuk memudahkan dalam mengidentifikasi setting dalam suatu karya fiksi.
a.     Adakah unsur setting dalam karya fiksi yang saya baca?
b.     Apabila ada,  setting itu meliputi  setting  apa saja; tempat, waktu, peristiwa,, suasana kehidupan ataukan benda-benda dalam lingkungan tertentu.
c.     Apakah setting itu semata-mata bersifat fisikal atau berfungsi sebagai dekor saja, ataukah bersifat psikologis.
d.     Bila bersifat psikologis, kandungan makna apa dan suasana bagaimana yang dinuansakannya
e.     Bagaimanakah hubungan  setting dalam karya fiksi yang saya baca dengan tema yang mendasarinya
Keseluruhan pertanyaan di atas hanya merupakan gambaran umum, karena pada dasarnya tidak semua karya fiksi mampu menampung dan memberikan  jawaban atas pertanyaan-pertanyaan  itu.  Dengan  demikian, sifatnya luwes dan harus disesuaikan dengan karakteristik karya fiksi yang dibaca.
Tang (2007) mengemukakan bahwa berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam suatu rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan mutlak antara sebuah peristiwa dengan waktu dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala alamiah. Tak satupun makhluk atau apa pun juga namanya, bergerak dalam kehampaan. Secara sederhana, Sudjiman (1992) mengatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra; semua turut membangun latar cerita.

2. Unsur Gaya dalam Karya Fiksi
Istilah  gaya  mengandung  definisi  cara  seseorang  menyampaikan gagasannya dengan  menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dapat dilihat pada penggunaan wacana ilmiah dan wacana sastra. Dalam wacana ilmiah, seorang pengarang akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif. Sedangkan dalam  wacana  sastra,  pengarang  akan  menggunakan  pilihan  kata  yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimatnya juga mengandung adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja.

3. Penokohan dan Perwatakan
Boulton  mengungkapkan  bahwa  seorang  pengarang  dapat menggambarkan dan memunculkan tokohnya melalui cara yang beragam. Pengarang dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam hidupnya,, pelaku yang memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri.
Boulton membedakan beberapa peran yang berbeda dalam sebuah cerita fiksi, yakni:
a.     Tokoh inti atau tokoh utama adalah seorang tokoh yang memiliki peranan yang penting dalam sebuah cerita.
b.     tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama.
Dalam menentukan peran tokoh utama dan tokoh pembantu dapat diketahui
melalui beberapa cara yakni,
a.     Seorang pembaca dapat menentukannya dengan cara melihat keseringan pemunculannya dalam suatu cerita.
b.     juga  dapat  ditentukan  melalui  petunjuk  yang  diberikan  oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya.
c.      dapat ditentukan dengan cara melihat judul cerita, misalnya judul Siti Nurbaya.
Sewaktu pengarang menentukan tokoh dalam ceritanya, maka dia juga akan menentukan watak atau karakter tokoh tersebut. Istilah  protagonis, biasanya diberikan kepada pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. Istilah antagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pembaca.
Dalam  upaya  memahami  watak  pelaku,  seorang  pembaca  dapat menelusurinya dengan cara:
a.      Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
b.     gambaran  yang  diberikan  pengarang  lewat  gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian;
c.      menunjukkan bagaimana perilaku;
d.     melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri;
e.      memahami bagaimana jalan pikirannya;
f.      melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
g.     melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;
h.     melihat  bagaimana  tokoh-tokoh  yang  lain  tidak memberikan reaksi terhadapnya;
i.      melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
Selain beberapa ragam pelaku yang disebutkan di atas, juga masih ada beberapa ragam pelaku lainnya, di antaranya sebagai berikut:
a.      simple character, ialah bila pelaku itu tidak banyak menunjukkan  adanya  kompleksitas  masalah. Pemunculannya  hanya  dihadapkan  pada  satu permasalahan tertentu yang tidak banyak menimbulkan adanya obsesi-obsesi lain yang kompleks;
b.     complex character, ialah pelaku yang pemunculannya banyak dibebani permasalahan. Selain itu, pelaku juga banyak ditandai oleh munculnya obsesi batin yang cukup  kompleks  sehingga  kehadirannya  banyak memberikan  gambaran  perwatakan  yang  kompleks. Biasanya sering dialami oleh pelaku utama.
c.      Pelaku dinamis, ialah pelaku yang memiliki perubahan atau  perkembangan  batin  dalam   keseluruhan penampilannya.
d.     Pelaku statis, ialah pelaku yang tidak menunjukkan perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai akhir cerita.

4. Alur
Alur dalam karya fiksi merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur sering disebut plot. Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat Forster dalam (Tang. 2007) bahwa untuk memahami alur dengan baik, dibutuhkan intelegensi dan daya ingat/memori (intelligency and memory) yang kuat. Hal ini berdasarkan pada konsep, bahwa dalam sebuah cerita yang bersifat narasi, terdapat kejadian atau fakta yang terorganisir dan bersiifat korespondensi, tetapi ada juga unsur yang bersifat surprise atau bersifat misteri dalam sebuah alur dan hal ini tetntunya menginginkan sebuah intelegensi yang tinggi.
Secara khusus, dengan mengutip pendapat Scholes dalam (Tang : 2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen penting dalam sebuah alur, yakni: alur aksi/tindakan, alur karakter, dan alur pikiran. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.      Alur aksi/tindakan, merupakan prinsip perpaduan (sintesis) yakni perubahan sempurna, berangsur-angsur atau mendadak dalam suatu situasi oleh pelaku utama (protagonist), yang ditentukan atau dipengaruhi oleh karakter dan pikiran;
b.     Alur karakter, pada dasarnya ini sebuah proses sempurna dari perubahan dalam karakter moral protagonist, dengan cepat atau lambat dalam tindakan dan ia menunjukkannya dalam dua sisi yaitu dalam pikiran serta perasaan;
c.     Alur pikiran merupakan sebuah proses sempurna dari perubahan dalam pikiran protagonist sebagai akibat dari perasaannya, yang secara langsung dijelmakan ke dalam tindakan atau karakternya sebagai suatu kebiasaan.
Lebih lanjut, Tang (2007) mengemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam suatu aluir adalah munculnya konflik dan klimaks dalam cerita narasi tersebut. konflik dalam karya fiksi terdiri atas: 1) konflik internal, pertentangan dua keinginan dalam diri seorang tokoh; 2) konflik sentral, yaitu konflik antara satu  tokoh  dengan  tokoh  lain,  ataukah  konflik  antara  tokoh  dengan lingkungannya; dan 3) konflik sentral, merupakan jenis konflik kecil. Artinya, bahwa mungkin saja konflik yang terjadi dapat berupa konflik internal ataukah konflik eksternal yang kuat, mungkin pula gabungan dari keduanya. Konflik sentral inilah yang merupakan inti dari struktur cerita, dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan alur.

5. Titik Pandang atau point  of  v iew
Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Ada empat titik pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya, yakni sebagai berikut:
a.      Narrator omniscient, adalah  narator atau pelaku  kisah yang  juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini dia mampu memaparkan sejumlah peran pelaku tentang apa yang ada dalam benak pelaku uatama maupun pelaku lainnya, baik secara fisik maupun psikologis; pengarang sering menyebut dirinya dengan aku, saya, nama pengarang sendiri;
b.     Narrator observer,  adalah  bila  pengisah  hanya  berfungsi  sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas  tertentu  tentang  perilaku  batiniah  para  pelaku;  pengarang menyebutkan nama pelakunya dengan  ia, dia, nama-nama lain, dan
c.      mereka.
d.     Narrator observer omniscient,  ialah  meskipun  pengarang  hanya menjadi pengamat dari pelaku, juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu, meskipun menyebut nama pelaku dengan is, mereka, dan dia. Hal ini mungkin saja terjadi karena pengarang prosa fiksi adalah juga merupakan pencipta dari para pelakunya.
e.     Narrator the third person omniscient, ialah pengarang mungkin saja hadir di dalam cerita yang diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini, sebagai pelaku ketiga pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, saya, atau aku.
Luxemberg, et al (1987) menjelaskan bahwa adakalanya suatu cerita secara berturut-turut menampilkan berbagai pencerita atau pengisah. Perkataan seorang dengan yang lain saling bergantian sehingga keseluruhan penuturan mereka membentuk cerita besarnya. Dalam hal ini kedudukan semua pencerita sederajat. Sehingga tepatlah kalau Luxemburg, et al mengatakan bahwa setiap cerita  mana  pun,  pastilah  ada  penceritanya.  Kadang-kadang  ia memperkenalkan diri, kadang-kadang kehadirannya harus kita simpulkan saja dari kenyataan bahwa cerita iru diceritakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa titik pandang oleh seorang pengarang dapat berganti sesuai dengan penceritaan yang dikisahkan oleh pengarang itu sendiri.

6. Tema
Scharbach  dalam (Aminuddin, 2002) menjelaskan tema sebagai sebuah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkannya sehingga pembaca mudah memahami tema pada saat membaca atau selesai membacanya.
Pradotokusumo (1992) mengemukakan pengertian tema dipandang dari  sudut cerita narasi (Novel/cerpen) dalam dua makna, yakni: 1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan yang dominant di dalam suatu karya sastra; 2) pesan atau nilai moral yang terdapat secara implicit di dalam karya seni. Batasan yang kedua ini lebih mengacu pada batasan amanat.
Untuk  dapat  memahami  tema  dalam  suatu  cerita  secara  mudah, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut ini.
a.      Memahami setting dalam cerita fiksi yang dibacanya;
b.     memahami penokohan dan perwatakan para pelaku;
c.      memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam karya fiksi yang dibacanya;
d.     memahami plot atau alur cerita yang dibacanya;
e.      menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita;
f.      menentukan  sikap  penyair  terhadap  pokok-pokok  pikiran  yang ditampilkannya;
g.     mengidentifikasi  tujuan  pengarang  memaparkan  ceritanya  dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya;
h.     menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar yang dipaparkan pengarangnya.













BAB III
KONSEP APRESIASI PUISI

A. APA ITU PUISI?
Di banyak kalangan, mendefinisikan puisi secara terbuka merupakan hal yang masih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pendapat tentang puisi. Akan tetapi, perumusan tentang puisi tidak begitu penting, karena yang paling penting adalah pembaca dapat memahami dan menikmati puisi yang ada.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani  pocima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’, karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan, atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Dalam Aminuddin (2002), Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah salah  satu  cabang  sastra  yang  menggunakan  kata-kata  sebagai  media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Penggunaan kata-kata dalam puisi, tentu saja bersifat kiasan. Anggapan lain mengenai puisi adalah bahwa puisi merupakan pengungkapan perasaan (Luxemburg, et al : 1987). Jadi, menurutnya bahwa bahasa puisi itu merupakan bahasa yang berperasaan dan subjektif. Anggapan ini muncul pada zaman Romawi yang menganggap bahasa puisi lahir dari perasaan yang ada dalam penyairnya. Sehingga perasaan pada zaman tersebut menjadi pusat perhatian. Puisi mengungkapkan keadaan hati. Akan tetapi, di sisi lain, terutama dalam perkembangan puisi saat ini, terdapat jenis puisi yang tidak memperhitungkan perasaan, dalam hal ini bahasa yang digunakan sangat lugas dan mudah dipahami oleh pembacanya. Biasanya disebut puisi prosa.
Wordsworth (dalam Pradopo, 1995:6) mengemukakan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Selain pandangan tersebut, pandangan lain menjelaskan bahwa puisi adalah seni peniruan atau simbol bicara yang bertujuan untuk mengajar atau kesenangan. Puisi berupa luapan perasaan secara spontan yang bersumber dari perasaan yang berkumpul dalam ketenangan. Puisi dianggap sebagai lahar dingin yang menahan terjadinya gempa. Puisi adalah ekspresi konkret dan artistik pemikiran manusia dalam bahasa yang emosional yang berirama.  Puisi  adalah  ekspresi  pengalaman  yang  bernilai  dan  berarti sederhana  dan  disampaikan  dengan  bahasa  yang  tepat.  Puisi  adalah pendramaan  pengalaman  yang  bersifat  menafsirkan  dalam  bahasa  yang berirama (Tang, 2007). Adapun batasan puisi menurut Waluyo (1987:25) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batin.

B. MACAM-MACAM PUISI
Melengkapi pengertian puisi di atas, pada bagian ini akan diuraikan tentang macam-macam puisi. Waluyo (1987) membagi puisi menjadi sepuluh macam, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut.

1. Puisi naratif, lirik, dan deskriptif
Pembagian puisi ini didasarkan atas cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan.
a.      Puisi naratif  , yaitu puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair.  Puisi-puisi naratif, misalnya:  epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Balada adalah puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Romansa adalah jenis puisi cerita yang mengungkapkan bahasa  romantik  yang  berisi  kisah  percintaan  yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih mempesonakan.
b.     Puisi  lirik  ,  yaitu  penyair  mengungkapkan  gagasan pribadinya. Jenis puisi lirik misalnya,  elegi, ode,  dan serenada. Serenada ialah sajak yang dapat dinyanyikan. Kata ”serenada” berarti nyanyian yang tepat dinyanyikan pada waktu senja.  Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau keadaan.
c.     Puisi deskriptif, yaitu jenis puisi yang mengungkapkan tindakan  penyair  sebagai  pemberi  kesan  terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi ini misalnya, puisi-puisi impresionostik, satire, dan kritik sosial. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Kritik sosial adalah puisi  yang  juga  menyatakan  ketidaksenangan  penyair terhadap suatu keadaan atau seseorang, namun dengan cara  membeberkan  kepincangan  atau  ketidakberesan keadaan/orang tersebut.

2. Puisi kamar dan puisi auditorium
Puisi-puisi  auditorium  disebut  juga  puisi  Hukla  (puisi  yang mementingkan suatu atau serangkaian suatu).  Puisi kamar ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja dalam kamar. Sedangkan  puisi auditorium  adalah puisi yang cocok untuk pembaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang. Puisi
auditorium disebut juga puisi oral karena cocok untuk dioralkan.

3. Puisi fisikal, platonik, dan metafisika
Pembagian puisi ini berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam suatu puisi. Puisi fisikal bersifat realistis artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Puisi platonik  adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual dan kejiwaan.  Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan Tuhan. Puisi relegius di satu pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan penyair) di lain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan).

4. Puisi subyektif dan puisi obyektif
Puisi  subyektif  (puisi personal) adalah puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Adapun puisi obyektif  adalah puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri.

5. Puisi konkret
Puisi konkret adalah puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut penglihatan. Bentuk konkret tersebut dapat berupa bentuk grafis, kaligrafi, ideogramatik, atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menunjukkan pengimajian kata lewat bentuk grafis. Puisi konkret ada yang berbentuk segitiga, kerucut, belah ketupat, piala, tiang lingga, bulat telur, spidle, ideografik, dan ada juga yang menunjukkan lambang tertentu.
7. Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi diafan  atau  puisi  polos  adalah  puisi  yang  kurang  sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga puis ini mirip dengan bahasa sehari-hari. Adapun puisi prismatis justru sebaliknya. Dalam  puisi  prismatis  penyair  mampu  menyelaraskan  kemampuan menciptakan  majas,  verifikasi,  diksi,  dan  pengimajian  sedemikian  rupa
sehingga pembaca tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna. puisi itu. Namun, makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma.

8. Puisi parnasian dan puisi inspiratif
Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasarkan oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Adapun puisi inspiratif diciptakan berdasarkan  mood. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi.

9. Stansa
Stansa berarti puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam stansa seluruh puisi terdiri atas 8 baris.

10. Puisi demonstrasi dan pamflet
Puisi demonstrasi menyaran pada puisi-puisi Taufik Ismail dan mereka yang Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini melukiskan dan merupakan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMMI-KAPPI – sekitar tahun 1966. Menurut Subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi 1966. bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu.
Puisi  pamflet  adalah  puisi  yang  bahasanya  menggunakan  bahasa pamflet. Puisi ini juga mengungkapkan protes sosial. Kata-kata dalam puisi ini mengungkapkan rasa tidak puas pada keadaan. Kata-kata tersebut muncul tanpa melalui proses pemikiran atau perenungan yang mendalam.


11.  Alegori
Puisi yang mengungkapkan cerita dengan maksud untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal adalah parabel yang juga disebut dengan dongeng perumpamaan.

C. APRESIASI PUISI
Puisi selalu terkait dengan emosi, pengalaman, sikap, dan pendapat-pendapat tentang situasi atau kejadian yang ditampilkan secara abstrak atau implisit. Oleh karena itu, pemahaman sebuah puisi juga diperlukan keterlibatan emosi,  pengalaman  estetis,  dan  intuisi-intuisi.  Bekal  semacam  itu  akan menolong siswa untuk menikmati puisi. Di sinilah letak strategi puisi yang ibarat sebuah tanaman mempesona, penuh arena bermain, penuh hiburan, dan penuh keindahan alamiah yang anggun. Dampaknya, tentu pembelajaran tetap akan berjalan dengan baik tanpa membuat siswa mengawang dalam belajar, melainkan menikmati.
Terkait dengan hal tersebut, Aftaruddin (dalam Endaswara, 2005) menyatakan  bahwa  ’peristiwa  besar’  menikmati  puisi  pada  hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara intens, secara mendalam. Pembelajaran tidak sekadar membaca huruf-huruf, tapi menempatkan diri sebagai pencipta sehingga antara penikmat dengan penyair seakan-akan tidak ada jarak. Konteks itu menghendaki pembelajaran yang sungguh-sungguh ada keterlibatan jiwa, tetapi tetap tidak membuat jiwa tegang. Bahkan, diharapkan pembelajaran tersebut menjadi sebuah momen refreshing.
Suatu istilah yang sering rancu dalam pembelajaran puisi adalah ihwal pengkajian.  Pembelajaran  puisi  tidak  menolak  pengkajian,  namun,  ada beberapa  perbedaan,  dalam  pengkajian  puisi  lebih  diarahkan  pada penyelidikan, apresiasi lebih menuju ke arah pemahaman. Pemahaman lebih banyak  terkait  dengan  aspek  pragmatik  penikmatan  dan  bukan  sekadar membedah isi puisi secara mekanik seperti lazimnya seorang peneliti puisi.
Dengan modal nikmat, siswa akan paham, karena dalam kejiwaan mereka timbul penghayatan dan pengenalan terhadap puisi. Satu hal yang penting dalam apresiasi puisi adalah bukan hasil (nilai), bukan pula yang telah hafal judul-judul  dan  pencipta  puisi.  Namun,  apresiasi  puisi  adalah  proses pemahaman dan pengenalan yang tepat; pertimbangan dan penilaian serta pernyataan  yang  memberikan  penilaian  terhadap  puisi.Oleh  sebab  itu, Atmazaki (1993) memberikan penegasan bahwa apresiasi adalah kegiatan: (1) untuk merespon suatu (puisi), melakukan kontak sehingga ada efek, resepsi, dan  persepsi, dan (2) memberikan pertimbangan terhadap sesuatu untuk memberikan penilaian.

D. PEMAKNAAN BENTUK LEWAT SEMIOTIKA
Dalam teks, semiotika dipandang sebagai sebuah realitas yang dihadirkan di hadapan pembaca yang mengandung potensi komunikatif. Pemilikan potensi komunikatif ditandai dengan digunakannya lambang-lambang kebahasaan di dalamnya, berupa lambang artistic yang berbeda dengan lambang kebahasaan lainnya.
Upaya  pemahaman  terhadap  lambang  teks  sastra  tersebut  sangat beragam. Akan tetapi, sesuai dengan terdapatnya empat dimensi dalam teks sastra, yakni 1) sastra sebagai kreasi ekspresi, 2) sastra sebagai pemapar realitas, 3) sastra sebagai kreasi penciptaan yang menggunakan media berupa bahasa, dan sastra sebagi teks yang memiliki potensi komunikasi dengan pembaca.
Pierce  seorang  pelopor semiotika  membedakan  lambang  atas  tiga bentuk yakni, 1) ikon, yakni bilaman lambang tersebut sedikit banyaknya menyerupai apa yang dilambangkan, seperti foto dari seseorang atau ilustrasi, 2) indeks, yakni bila lambang itu masih mengasosiasikan adanya hubungan dengan lambang yang lain, misalnya rokok dengan api, 3) simbol, yakni bila secara arbitrer maupun konvensional, lambang itu masih menunjuk pada referen tertentu dengan acuan makna yang berlainan.

E. PEMAHAMAN LAPIS MAKNA PUISI
Aminuddin mengungkapkan bahwa lapis makna adalah unsur yang tersembunyi di balik struktur bangun. Unsur lapis makna sulit dipahami sebelum seorang pembaca bisa memahami bangun struktur puisi tersebut. Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual.
Berikut ini diuraikan struktur yang membangun fisik yang terdiri atas dua jenis yakni sebagai berikut:
1. Struktur batin puisi (Hakikat puisi)
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan puisi. I. A. Richards (dalam Waluyo, 1987) menyebut makna atau struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention).

a. Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran tersebut menguasai jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Tema harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya  yang  terimajinasikan.  Oleh  karena  itu,  tema  bersifat  khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Ada beberapa macam tema sesuai dengan Pancasila, yaitu: tema ketuhanan, tema kemanusiaan, tema patriotisme/kebangsaan, dan tema keadilan sosial.

b. Perasaan penyair (feeling)
Perasaan penyair (feeling) merupakan faktor yang mempengaruhi dalam penciptaan puisi. Suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Dalam mengungkapkan tema yang sama, antara penyair yang satu akan berbeda dengan penyair yang lain, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda.

c. Nada dan suasana
Dalam apresiasi puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca,  apakah  dia  ingin  bersikap  menggurui,  menasihati,  mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca inilah yang disebut nada puisi. Adapun yang dimaksud dengan suasana dalam puisi adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada menimbulkan puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya.

d. Amanat (pesan)
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan penyair.

2. Struktur fisik puisi (Metode puisi)
Adapun unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Berikut akan diuraikan lebih lanjut.

a. Diksi (pilihan kata)
Seorang penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rimadan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.

b. Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.

c. Kata konkret
Untuk  membangkikan imaji  (daya  bayang),  maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran pada arti yang menyeluruh.

d. Bahasa figuratif (majas)
Penyair  menggunakan  bahasa  yang  bersusun-susun  atau  berfigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.


e. Verifikasi (rima, ritma, dan metrum)
Rima adalah  pengulangan  bunyi  dalam  puisi  untuk  membentuk musikalitas atau orkestra. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritme berbeda dengan metrum.  Metrum  berupa  pengulangan  tekanan  kata  yang  tetap.  Metrum sifatnya statis (Waluyo, 1987).



F. DEKLAMASI PUISI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK APRESIASI PUISI
Sebuah puisi barulah terasa keindahannya jika dibaca dengan irama yang  baik.  Irama  ini  akan  jelas  menonjol  pada  saat  puisi  tersebut dideklamasikan. Deklamasi berasal dari bahasa Latin yaitu  declamare atau declaim yang memiliki arti membaca suatu hasil sastra yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu (Situmorang, 1974). Gerak yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama dengan isi bacaan.
Tentang  pengertian  deklamasi,  Syahril  Adlar  dalam  bukunya Deklamasi mengemukakan beberapa rumusan (1) Ajip Rosidi menyatakan ”Seni deklamasi ialah suatu seni sastra lisan yang disertai dengan gaya, mimik, intonasi, tempo, dan interpresi yang baik. (2) M. Hussyn Umar menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni menafsirkan kembali ciptakan seseorang yang disertai  ekspresi,  mimik,  dan  irama  yang  baik.”  (3)  Abdul  Muthalib menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni menyatakan kembali ciptaan seseorangdengan keselurhan  jiwa  disertai  irama  tanpa  nada  dan  berusaha  lebih mendekatkan isi/maksudnya kepada pendengarnya” (Situmorang, 1974). Dari uraian-uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa deklamasi itu pasti maksudnya adalah mengucapkkan sebuah prosa atau puisi (bentuk yang paling umum  di  Indonesia  ialah  puisi)  dengan  cara  sebaik-baiknya  dengan memperhatikan syarat-syarat seperti diuraikan di bawah ini.

a.     Pemahaman. Seorang pendeklamasi yang belum paham  isi/maksud  sebuah  puisi  tidak  akan mungkin dapat mendeklamasikan puisi tersebut dengan baik.
b.     Peresapan.  Sebuah  puisi  yang  akan dideklamasikan haruslah diresapkan benar-benar dalam hati hingga seakan-akan menjadi milik si pendeklamasi  sendiri.  Pendeklamasi  bertugas sebagai juru bicara yang harus dapat meyakinkan dan menikmatkan hati si pendengar. Oleh karena itu, tanpa peresapan yang baik dan meyakinkan tidak  mungkin  akan  dapat menikmatkan  hati pendengar
c.      Ekspresi. Pendeklamasi harus memantulkan puisiitu pada pendengarnya. Berhasil tidaknya usaha yang  dilakukan  pendeklamasi  untuk menikmatkan hati orang lain, tergantung sampai mana kemampuannya mengekspresikan puisi itu. Terkait dengan ekspresi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu daya hafal, pengucapan, irama, batas sintaksis, mimik, dan gerak gerik.

Daya hafal. Sebuah deklamasi sebenarnya dapat dilakukan dengan mempergunakan catatan. Akan tetapi mempergunakan catatan akan sangat sering mengganggu sebab dengan jalan berulang-ulang pendeklamasi melihat ke arah catatannya, akan berakibat yang luas, yakni maksud puisi tersebut dan juga  berakibat  pendengar  akan  terganggu.  Oleh  karena  itu,  sebaiknya pendeklamasi puisi harus mempunyai daya hafal yang sebaik-baiknya.

Pengucapan.  Salah  satu  hal  yang  sangat  penting  mendapatkan perhatian pada setiap kesempatan berdeklamasi adalah ucapan. Pengucapan dalam berdeklamasi haruslah dijaga semurni dan sebaik mungkin, jangan terlampau dipengaruhi oleh ucapan bahasa daerah atau sekali-kali jangan pula mengarah pada ucapan bahasa asing. Dalam hubungan inilah pengucapan tidak dapat dipisahkan dari intonasi. Dari ucapan dan intonasi seseorang akan dengan cepat memberi petunjuk, apakah seseorang cocok untuk berdeklamasi atau tidak.

Irama. Irama merupakan faktor yang utama untuk menghidupkan puisi sebab irama merupakan jiwa pendeklamasian puisi. Tanpa irama yang baik, pastilah seorang pendeklamasi tidak akan mungkin berhasil dalam deklamasi. Dalam hal ini, seorang pendeklamasi harus tahu pada bagian mana suara perlu dikeraskan, ditinggikan, atau dilambatkan.

Batas  sintaksis. Batas perhentian suara (sintaksis) ini sangat penting agar jelas pada bagian-bagian mana seseorang berhenti untuk menarik nafas, hingga pokok-pokok pikiran dalam puisi itu jelas dikemukakan. Jadi, sebelum mendeklamasikan puisi harus ditandai lebih dahulu dimaksud penciptanya tidak menjadi kacau-balau.

Mimik. Setelah puisi itu benar-benar meresap ke dalam jiwa seseorang pendeklamasi  akan  dengan  mudah  terlihat  dari  mimiknya.  Jadi,  mimik merupakan petunjuk apakah seseorang sudah benar-benar dapat menjiwai atau meresapkan  puisi  itu  dengan  sebaik-baiknya.  Harmonisasi  antara  mimik dengan isi (maksud) puisi merupakan puncak keberhasilan sebuah deklamasi.

Gerak-gerik dalam deklamasi walaupun bukan keharusan tapi sangat sering menolong  untuk  menjiwai  dan  menghidupkan  sebuah  puisi (Situmorang, 1974).
Pada saat mendeklamasikan puisi akan muncul rasa emosionil –artistik. Hampir semua siswa akan tergugah rasa emosionil – artistiknya bila mendengar sebuah deklamasi yang berhasil dibawakan di depan kelas. Hal itu terlihat dari tepuk tangan yang riuh dan wajah mereka yang merasa puas bila seorang temannya dengan indah mendeklamasikan sebuah puisi.
Memang tidak semua siswa dapat mendeklamasikan puisi dengan baik tapi pastilah jika guru membimbing mereka, paling tidak siswa-siswa dapat menghargai  dan  menikmati  sebuah  puisi  yang  berhasil  dideklamasikan (Situmorang, 1974).
























DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2002.  Pengantar Apresiasi Karya Sastra..Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Khalik, Suhartini. 2008. “Penerapan Metode Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Pembelajaran Apresiasi Puisi pada Siswa Kelas XI
Bahasa SMA Negeri 1 Pancarijang Kabupaten Sidrap.” Tesis. Tidak diterbitkan. Makassar: PPs UNM
Luxemburg, Jan Van,et.al. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
-------------------------------. 1987. Tentang Sastra. Diterjemahkan oleh Akhdiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah. Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004.  Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat. 1995. Pengkajian Puisi. Jakarta: Rineka Cipta. Sakdiyah.
Mislinatul.  Menggauli  Puisi  Lewat  Lagu.  Online (http://cybersastra.net). Diakses 19 Januari 2007.
Sarjono, Agus R. 2001.  Sastra dan Empat ORBA. Yogyakarta : YayasanBentang Budaya.
Tang,  Muhammad  Rapi.  2007.  Pengantar Teori Sastra Yang Relevan.Makassar: PPs UNM
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende: Nusa Indah
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek,  Rene  dan  Warren,  Austin.  1993.  Teori Kesusastraan.  Jakarta: Gramedia.
Wijaya,  Putu.  2007.  Pengajaran  Sastra.  Diakses  dari Http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra

Tiada ulasan:

Catat Ulasan