ENOUGH.
J
|
ika harus jujur, saat ini pun ada satu hal yang belum pernah
ku lupakan. Bertemu dengannya. Di pertengahan usiaku ini, aku hanya minta satu
hal itu kepada Tuhan. Ya… tapi mungkin Tuhan memisahkan kami di belahan bumi
yang berbeda. –Dia berharap kisah antara kami tak akan dimulai kembali. Atau
mungkin, Tuhan punya rencana yang lain? Entahlah. Aku hanya menatap langit sore
ini dengan kepasrahan yang sangat. Aku benar-benar pasrah apa yang di
kehendaki-Nya bukanlah harus kuketahui. Itu rahasia pencipta.
Hingga pagi yang masih dingin ini, aku
menyusuri jalanan sepanjang blok perumahan yang mulai menggeliat aroma
kehidupan. Ku langkahkan kaki ini menginjak beberapa dedaunan yang jatuh dengan
aroma hujan semalam. Aku menyelipkan tanganku pada blazer hitam yang kupakai.
Sementara sepatu boot putih diatas mata kakiku mengayun sempurna menembus
jalanan. Aku menyibak rambut panjangku yang tergerai bebas. Ada setiap saat
perasaan itu sampai usiaku mencapai sedewasa ini. Perasaan yang sebenarnya
biasa, tapi ini kualami bertahun-tahun lamanya. Perasaan menunggu sesuatu yang
tak pasti. Menunggunya. Menunggu saat itu datang. Menunggu saat sinar mata itu
kembali padaku, ku temui meskipun tak bisa lagi kumiliki seutuhnya. Aku tahu
dia mungkin sudah memiliki orang lain. Tapi semua itu tak membuatku mudah
melupakannya. Karena, bagiku kebahagiaannya adalah segalanya. Mengalahkan ego
yang membuncah dalam hatiku. Mengalahkan bahagianya ketika bosku memberiku
selamat atas prestasi kerjaku, mengalahkan saat aku dapat lulus S2 berpredikat cumlaude.
Aku. Adrenallien Neurilemma Innasty. Nama biologi yang diberikan orang tuaku
yang saat ini sudah tiada. Aku anak tunggal dari ayah bunda seorang ahli kimia
dan ahli pertanian. Entah mengapa mereka menamaiku dengan hormon Andrenallin.
Mungkin supaya aku menjadi terpacu, semangat menghadapi kehidupan ini meskipun
berat. Sangat berat. Mereka meninggalkan aku selamanya, saat usiaku sudah 18
tahun. Semester 2 kuliah. Kecelakaan maut itu merenggut nyawa mereka. Tinggal
lah aku sendirian di rumah bersama dengan kesepian yang sangat.
Kehidupan
percintaanku pun tak seindah remaja-remaja lain pada saat itu. Kisah yang
membuat cerita ini mulai memasuki babak awalnya. Saat yang mungkin membuat
semua titik konsentrasi memoriku buyar berkeping-keping. Saat yang mampu
membawaku memasuki babak baru kehidupan yang sebelumnya tak ingin kunikmati
seperti ini. Aku terhampar pada kenyataan yang bahkan aku tak pernah tahu
bagaimana menuju klimaks sampai ke ending. Aku memang tak pernah memahami
takdir dan tak pernah mau menerka-nerka atau bermimpi terlalu tinggi. Hayalanku
bertepi pada kehidupan yang nyata, bahagia, dan sukses. Itu saja. Tapi istilah
tengah itu membuatku jungkir balik mengikutinya. Kebahagiaan. Ya… sampai saat
ini pun aku masih melihatnya dalam siluet kehidupan. Belum menatapnya secara
nyata dan benar-benar ada. Tuhan… aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya
bahagia kembali setelah sekian lama ujian itu Engkau berikan. Dan aku tak pernah
lagi mau memikirkannya semenjak ini menjadi sebuah cerita yang menarik.
September 2004
Kampus Saat mata
elangnya menatapku dengan tajam. Menghujam jantungku dengan perasaan yang entah
apa namanya. Aku tak bisa lari darinya. Meskipun ini bukan keinginanku yang sebenarnya.
Ia mengunci persendian tanganku dengan genaggaman tangannya yang kokoh. Aku
melihatnya sangat dekat. Bukan perasaan nafsu antara laki-laki dan perempuan,
tapi lebih pada getaran rasa yang hebat. Rasa yang tak bisa kuungkapkan dengan
gerakan atau kata-kata. Ia tertawa membahana dan mengacak-acak rambut pendekku.
Aku mengikutinya menuju aula yang pada saat itu sebuah tempat dimana kami semua
berkumpul. Aku sudah mengenalnya lama sekali, sangat lama, hingga aku terlalu
hafal dengan apa yang terjadi berikutnya. Pasti yang keluar dari mulutnya
dengan lesung pipit itu sebuah kata-kata ejekan candaan yang selalu diakhiri
dengan lemparan remasan kertas dariku. Kemudian seisi aula menertawakan kami
dan aku tersenyum masam sambil duduk menyilangkan kaki. Menatapnya dari jauh
dengan segala keterbatasanku untuk diketahuinya adalah suatu hal yang
menegangkan sekaligus menyenangkan.
“Jendral Besar” Sebutan untuknya di BEM kampus. Lalu mereka
menobatkan aku menjadi sosok “Panglima” perangnya. Setiap rapat di kampus
selalu dia yang menentukan strategi organisasi, sementara aku yang punya hak
tertinggi menjalankannya. Semua anggota BEM menghormati itu. Tidak ada satupun
yang protes atau diam-diam kudeta. Namanya mahasiswa. Mereka percaya pemimpin
yang bijaksana. MAsalahnya pemimpin mereka tidak Cuma bijaksana, tapi sangat
menarik. Menarik dari segala hal. Mulai dari ketampanan sampai dengan
intelektualitasnya yang tinggi. Seperti apapun kebijakan jendral besarnya
mereka akan angkat senjata untuk perang. Tapi itu hanya analogi. Kenyataannya
organisasi kampus di kampus ku adalah yang paling tidak suka demo dan paling
anti organisasi berplatform tertentu. Kami berjalan wajar sewajarnya saja.
Sebagai mahasiswa yang menjadi penyambung lidah rakyat. Kami lebih banyak
berkarya lewat seni, sastra, dan olahraga. Itulah kehebatannya. Saat masa muda
bergejolak, kami meredamnya dengan kegiatan positif. Itulah kehebatan Jendral
Besar kami.
“Alien,…jangan
banyak ngelamun. Belanda makin dekat. Itu udah siap belum masalah LKTI tingkat
nasional?”
Aku terhenyak menatap si empunya suara. Benar-benar di dekat
telinga.
“Bisa…agak
jauh? Heloooo…ini telinga makin tipis rasanya.”
Dia tertawa. Seperti biasa. Keanehan yang menurut mereka
semua yang mengenal kami sesuatu yang wajar. Tidak wajar kalau kami berhenti
bertengkar. Atau menganggap kami sakit kalau tiba-tiba seharian tanpa komentar
dan kami berjalan beriringan sambil terbahak. Nha.. aku berharap kami bisa
sering sakit. Biar terlihat akrab. Tapi kami memang ditakdirkan begitu, mungkin.
“heh…muka-muka
mereka pada capek, nungguin kamu!”
Hujatnya sambil ngacak-ngacak rambut cepakku. Sebagai wanita
yang terkenal semi wanita alias tidak ber style wanita aku biasa saja. Tapi
yang belum kenal kami akan berkata ‘tuh cowok nggak ada sopan-sopannya’. Aku
mencibir sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tas ransel besarku.
“Nih!
Amunisi LKTI sudah siap ditembakkan!”
Seisi ruangan terbahak dan bersorak-sorai. Dia hanya
menatapku tajam dan menggeleng-geleng.
Seperti
biasa, usai rapat kami nongkrong di warkop fakultas sambil masih diskusi. Tapi
siang itu anak-anak pada capek, katanya. Tinggal aku, si Jendral gila itu, dan
Aris salah satu anggota BEM. Aris pun akhirnya mohon diri setelah dapat telepon
dari seseorang. Mungkin pacarnya.
“Enak,
ya.. si Aris diperhatiin.”
Aku terbahak mendengarnya. Siapa yang nggak kenal orang di
depanku ini. Seisi kampus juga tahu dia. Seisi kampus juga kagum padanya. Tapi
sekali lagi tidak ada yang berani mendekatinya. Sama halnya dia tidak pernah
punya hasrat mendekati siapa pun. Meskipun bejibun wanita cantik di kampus
besar kami. Meskipun entah berapa hati yang berhasil dipatahkan akibat
kecuekannya.
“Eh…
kirain homo.”
Kataku asal. Dia melotot. Aku terbahak sampai kopi di mulutku
terciprat keluar.
“Lha
mendingan homo, daripada nggak ada yang naksir.”
Aku terbahak lagi.
“artinya
kita sama.”
Dia tertawa dan tiba-tiba sudah berbisik di telingaku
“Kamu naksir saya, ya?”
Aku terhenyak dan menatapnya. Sejak kapan pikiran gila itu
sampai ke otak si jendral gila itu. Mukaku memerah seketika.
“akui
sajalah…nggak perlu sembunyi-sembunyi begitu. Kurang apa sih?”
Tanyanya sambil tersenyum ke arahku. Tiba-tiba nyaliku
menciut dan untuk pertama kalinya aku diam seribu bahasa. Tiba-tiba terdengar
tepuk tangan tunggal. Dia terbahak
“Just
kidding. Udah… ayok pulang. Sepertinya kurang sehat lu ya? Pucet gitu.”
Aku mengangguk dan menghela nafas lega. Sialan. Aku pikir dia
bisa membaca pikiranku. Seperti biasa kami menyusuri pintu keluar kampus sambil
tetap adu argument. Dan seperti biasa pula dia berjalan di sampingku sambil
memegang kepalaku dan mengacak-acak rambut cepakku. Yang berbeda, perasaanku
makin kalut. Aku berharap cepat lulus dari kampus dan tak melihatnya lagi.
Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta.Dan itu salah.
Kampus memupuk perasaanku padanya. Tapi sekali lagi sampai
lulus pun aku tak berani mengakuinya. Si jendral besar gila yang punya mata
elang itu pun yang ku tahu tetap seperti gunung es. Aku hanya berani menatap kharismanya
seperti ratusan cewek di kampus ini yang kagum padanya. Meski aku punya peluang
besar untuk setiap saat berinteraksi dengannya. Itulah. Aku hanya mau meyimpan
semuanya rapat-rapat di brankas hatiku. Tak ada seorangpun yang akan kuberitahu
sekalipun itu sahabatku sendiri. Biarlah kami akan bersama tanpa tendensi
apapun. Aku berharap begitu sampai kami lulus dari kampus nanti.
Seperti yang ku duga, kami semua lulus dari kampus dalam
waktu yang hampir bersamaan. Kami meninggalkan BEM 6 bulan sebelum kami lulus.
Perpisahan yang menguras air mata jiwaku waktu itu. Saat dia memelukku untuk
terakhir kalinya di organisasi dan mengucapkan kalimat pamungkasnya
“makasih, ya. Sudah jadi panglima gue. Sudah sabar jadi
partner gue yang begini. Sorry kalo banyak salah.”
Aku tak bisa berkata-kata. Air mataku hampir turun, tapi ku
tahan sekuat tenaga. Aku ini panglima. Harus kuat. Meski pertahanku runtuh
seketika melihatnya berbalik badan. Di balik kekuatanku ada hati yang rapuh
yang saat itu pun sudah patah. Pertama kalinya aku patah hati sebelum tahu
indahnya hubungan. Dan itu terakhir kalinya aku menjauh darinya untuk
konsentrasi akhir studi di kampus dengan berbagai macam alasan klise lainnya.
Selamat tinggal jendralku. Meski tiap malam aku terbangun dan mengenali mimpiku
berisi tatapan elangnya. Masih terpahat sosoknya yang selalu hadir di
hari-hariku di kampus mengiringi masa-masa kuliahku. Lalu semuanya harus
berakhir. Aku yang mengakhirinya dengan idealisme ku. Bagiku tidak perlu lagi
melihatnya biar apa yang ada di hatiku makin tidak tumbuh subur. Pengecut. Itulah
aku pada masa itu.
Sampai perayaan wisuda selesai, aku tak berani menemuinya.
Sekali lagi aku ingin rasa itu pupus. Karena ku yakin aku bukan pilihannya.
Hingga SMS terakhirnya “Selamat, ya. Jangan lupa pernah mengenalku.” Ido jerry
P.
Aku menghapus semua akses tentangnya dan selalu akan
mengenangnya sebagai kenangan terindah. Cukup.
September 2011
Reuni BEM kampus. Aku menemukan seluruh isi ruangan. Diantara
banyak orang, aku menemukannya kembali. Dia tidak berubah. Masih seperti dulu.
Kharismanya menghipnotis semua orang di ruangan itu. Serasa dial ah yang paling
dikagumi disana. Aku berdiri di belakang alumni lain dan hanya asyik main
gadget. Entah darimana asalnya, dia sudah muncul dihadapanku. Bukan untuk adu
argument, tapi untuk menegurku
“Sengaja lupa atau bagaimana? Apa sih salahku?
Aku menatapnya dengan kekagetan luar biasa. Lalu aku menghela
nafas panjang dan menghibur diri. Dia memang suka bercanda. Mungkin tidak
berubah candaannya. Yang berubah adalah dia tidak lagi mengacak-acak rambutku
yang masih tetap cepak, meski sudah stylis. Dan aku sudah berusaha
menstandarkan penampilanku seperti para wanita pada umumnya. Meski style casual
tetap tersandang di diriku.
“Nggak, aku hanya panglima, kan. Hak prerogative kan milik
mu.”
Dia tertawa. Tidak seperti dulu yang masih kacau terbahak di
warkop. Aku tak berani menatapnya langsung. Seperti biasa kamuflaseku melewati
pundaknya menatap yang tidak kea rah mata elangnya. Sekali lagi aku tak berani.
Sungguh. Aroma parfumnya yang maskulin masih menggodaku untuk tidak menjauh
darinya. Tapi sekali lagi aku tak berani mendekatinya.
“Kuliah sudah kelar kali… jangan anggap aku nih masih apa
tuh… jendral. Kita sama disini. Sini lah gabung. Ayok… ceritain kisah hidupmu.
Plis.”
Aku mengangguk sambil mengikutinya ke arah anak-anak lain. Sebelum sampai ke
kerumunan alumni, dia berbisik
“Masih naksir ? Ayo…kita jadian disini..”
Seperti stroom ribuan watt
mendengar bisikannya yang gila itu. Entah darimana ide gila itu menyertai acara
reuni yang sakral itu. Nyaliku menciut, dan keringat dingin membanjiri bajuku.
Ah, kenapa aku ini? Seperti tak menegnalnya yang hobi bercanda. Aku pura-pura
memukul bahunya dan buru-buru kea rah anak-anak yang lain. Bergabung. Persetan
dengan Ido yang sesaat kemudian sok jadi narasumber cerita paling menarik.
Sampai akhirnya saking menariknya dia aku mulai menjauh dari kerumunan dan
minta diri duluan. Semenjak saat itu aku tak berani lagi ikut reuni. Aku tak
mau bertemu dengan sosok mata elang yang membuatku senam jantung saat bercanda.
Aku hanya takut candaannya membuatku khilaf untuk mengakui yang sebenarnya.
Betapa patah hatinya kalau sampai ditolak. Cukup.
Setelah reuni terakhir kami, aku berjanji menutup seluruh
akses tentangnya. Meski kadang rasa rindu membuncah teramat sangat. Sampai zaman
media sosial tiba. Zaman dimana kita bisa mencari kembali jarum di tumpukan
jerami. Zaman dimana kita bisa menemukan siapapun di muka bumi ini tanpa
kesulitan. Tapi digitalisasi tak membuatku bisa menemukannya kembali. Grup-grup
medsos hanya mengenangnya tanpa tahu nomor terhubung yang bisa membuatnya
muncul kembali mejadi jendral besar kami. Semuanya nihil. Dan aku mulai putus
asa bisa melihat kilatan sempurna mata elangnya lagi. Pupus.
Lamunan berkepanjangan ku berangkat kerja hanya sampai depan
kantorku. Setelah ini semua akan berjalan normal, karena kejadian yang
kupikirkan tadi sudah lewat bertahun yang lalu. Ssepertinya aku juga tidak akan
bertemu Ido lagi. Kota tempatnya tinggal alias kampus kami sekrang sudah jauh
dari tempatku bekerja. Kami punya komunitas di medsos tanpa dia. Cuma aku
kurang aktif medsos an. Sekali lagi tuntutan pekerjaan dan akan mengingatkanku
terus akan masa lalu yang menggantung itu.
Sampai siang bekerja, aku masih di suasana sewajarnya. Hingga
sore menjelang pulang kerja tiba-tiba HPku bordering. Aris. Alumni kampusku.
Anak BEM. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
“Alien, kamu bisa berangkat ke RS deket kampus kita? Plis…nomormu
ada di anak-anak alumni. Tiket pesawat gampang, aku yang pesenin. Plis, jendral
sakit parah. Kritis. Aku serius. Leukimianya sudah stadium 3. Aku takut kamu
tidak bisa melihatnya lagi.”
Seluruh sendiku ngilu dan kaku. Ido??? Ada apa? Dia sakit.
Tuhan, aku hanya sibuk memperhatikannnya tanpa tahu dia sakit. Padahal reuni
waktu itu tidak pernah terlihat tanda-tanda itu. Aku langsung berkemas dan
cepat meluncur. Untungnya hari jumat. Besok weekend.
Sampai di rumah sakit, Aris menyambutku. Air matanya disusut
dan mengajakku duduk di ruang tunggu rumah sakit.
“Tolong jangan sedih, Alien. Dia sudah tiada.”
Dunia ku runtuh. Nafasku berhenti sejenak. Tanpa sadar air
mataku mengalir deras tanpa henti. Mulutku tercekat dan seluruh bayangannnya
tiba-tiba muncul. Setelah sadar, aku
mengguncangkan tangan Aris.
“temen-temen yang lain mana, Ris?”
Aris menghela nafas panjang.
“dia tidak pernah menunggu yang lain. Dia hanya menunggu
kamu. Dan aku saksinya.”
Aris memeluk tanganku.
“Kita ke rumah Ido, ya. Disana jenazahnya sekarang. Kamu
terlambat sedikit. Ayo.”
Entah perasaan macam apa yang menyelimuti ku saat ini. Baru
tadi pagi aku melamunkan kejadian-kejadian itu. Lalu sekarang benar-benar di
tahapan alur terakhir. Ending.
Di rumah Ido, pertama kali melihatnya tanpa suara dan tanpa
candaan khasnya meluruhkan air mataku. Satu kata yang bisa kuucapkan padanya.
“maaf.”
Terakhir setelah pemakamannya, Aris memberikan sesuatu
padaku.
“Ini titpannya. Tolong disimpan. Jangan pernah dilupakan. Dia
mencintaimu. Menunggumu dan tak pernah berani mengatakannya, karena dia tahu
umurnya tidak panjang.”
Seluruh hidupku berbalik 360 derajat. Tiba-tiba aku merasa
bahagia. Sesaat. Meski sudah terlambat. Tuhan sudah punya garis takdir yang
jelas untuk ku. –Dia memanggil orang-orang yang mencintaiku untuk abadi di sisi
Nya. Takdir ku adalah bahagia dengan kehidupan yang diberikan Nya untuk ku.
Bersyukur, karena ternyata aku pernah dicintai. Pernah.
Buku harian itu menjadi saksi bagaimana cinta selalu penuh
misteri, penuh ketulusan tanpa tendensi. Sepenggal tulisan Ido di halaman akhir
buku hariannya
Alien.
Aku mengenalnya sebagai cewek yang sangat biasa. Tidak istimewa. Tapi pada
kenyataannya dia membutakan hidupku dengan cinta. Aku baru menyadarinya saat
nyaman berada di dekatnya. Tidak ada keinginan apa pun di dirinya padaku
kecuali ketulusan. Aku mencintainya. Meski aku tak berani mengatakannya. Hanya
ingin membuatnya bahagia. Itu saja. Latar belakang kehidupannya yang
ditinggalkan orang-orang terkasihnya membuatku harus berfikir seribu kali
menyatakan perasaanku. Bagaimana aku akan menemaninya, aku sendiri dihadapkan
pada tagdir. Hidupku tidak lama. Bagaimana aku harus melihatnya menangis?
Sementara ketegarannya lah yang membuatku bisa bertahan kuat selama ini. Aku
tahu dia menyimpan semuanya di hatinya kuat-kuat, ketika aku diam-diam tahu dia
memperhatikanku dari jauh, mencoba menyimpan perasaannya, entah sampai kapan.
Rasa ini makin ingin kuungkapkan, saat melihatnya lemah. Tapi aku tak mau
membuatnya menangis lagi. Biarlah air matanya surut. Biarlah dia bahagia.
Bagiku itu saja cukup.
Maaf.
Aku sudah menyusut air mataku. Aku sudah tidak bersedih lagi.
Aku sudah bahagia. Untuk membuat mereka yang mencintaiku bahagia. Sekali lagi
aku tak kan menitikkan air mata kesedihan. Tuhan, beri aku kekuatan.
PLUR 28 Oktober 2019
Asline ora
pengin ngene critane. Tapi kok sad ending tetep apik yo…
Yo wes rapo po
lah… penting wes ending. Ternyata lumayan…
Tiada ulasan:
Catat Ulasan