Isnin, 4 November 2019

Perempuan yang Membenci Gerimis


PEREMPUAN YANG MEMBENCI GERIMIS
Gerimis. Aku benci semua itu. Aku benci rintik gerimis. Tetesan rintik itu membuat semua jiwa menjadi cemas, senyap, dan langit yang menjelang gelap membuat semuanya terlihat samar-samar. Seperti siluet. Hanya sebuah bayangan dalam kegelapan. Nampak nyata tapi hanya berbentuk. Aku benci rintik gerimis itu. Seperti ketika aku menitikkan rintik itu di pipiku setiap momen yang tak pernah ku inginkan. Bahkan momen-momen yang senantiasa ku tolak pergi menjauh. Tapi Tuhan selalu punya skenario. Melebihi hebatnya penulis naskah handal di bumi ini. Kuasanya melebihi saudagar paling kaya di zaman-nabi-nabi.
            Kadang aku selalu berfikir logis. Sungguh ingin aku ukir dalam-dalam sajak dari daratan China yang jika kuterjemahkan ‘tak ada hujan yang tak berhenti.’ Aku ingin selalu memahat pepatah itu di dalam pikiranku. Sungguh. Tapi rintik hujan selalu membuatku pupus. Kegamangan membuatku tak bisa setegar itu. Gerimis. Seperti air mataku saat melepaskan kebahagiaan itu pergi dari kehidupanku.
            Gerimis pertama yang membuatku benci adalah ketika aku melihat jiwaku mati. Mati. Ya…jiwaku mati saat itu. Ragaku hidup. Kedua orang yang menjadi pedoman genetikaku memutuskan untuk pergi meninggalkan ragaku yang masih belia. Meninggalkan onggokan jiwa yang mati. Raga yang hidup hanya berdasarkan belas kasihan dan ketiadaan mata hati dari kedua DNA yang mengawali sel-sel darah dalam detak jantung ini berirama. Mereka telah pergi. Dan aku sendirian di tempat asing yang hanya berisi rasa belas kasihan. Belas kasihan karena melihatku manusia yang masih lemah, kerdil. Belas kasihan yang kemudian berhasil membawaku ke pergantian mendung menjadi cerah. Yang memberiku pagi dan siang yang nyaman. Yang memberiku malam yang gempita. Hari yang terus bergulir tanpa gerimis lagi. Mereka, yang memberiku nafas kehidupan lebih lapang lagi. Aku terbangun dari mati suri ku. Aku bangkit dan melawan gerimis itu.
Aku terseok, mencoba berdiri, bangkit, kemudian berjalan pelan-pelan menuju cahaya surya yang terang dan memberiku kehidupan sempurna.
Pada 2 ½ windu usiaku, tiba-tiba aku bertemu dengan mendung. Langit menjadi tak seterang biasanya. Mendung mulai menggantung. Gelap mulai mereyap menjadi awan-awan colombus di atas langit hidupku. Aku menatap cemas. Ya, akankah ada gerimis kembali dalam hidupku? Akan adakah gerimis kah dalam waktu dekat ini? Ya…rintik itu mulai turun. Langit bertambah gelap. Gulita menjadi semakin mencekam. Tuhan, -Kau meminta satu pijakan hidupku kembali padamu. Aku pincang. Terseok, rapuh, mencoba hidup. Tapi rintik hujan yang ku benci itu menetes bagaikan serangan spontan yang tak bisa ku lawan. Tuhan…aku hanya mampu bersimpuh pada Mu. memintaMu menjaganya dan mengampuni apa yang diperbuatnya dengan amalan-amalan yang membuat jiwaku hidup kembali. –Kau benar, Tuhan. Ia milikmu, akan kembali padamu.
            Gerimis itu mulai mereda. Aku kembali merangkak menyebrangi hujan, berharap masih ada siang dan terang yang membuatku nyaman. Ya, aku menemukan lentera itu. Lentera yang awalnya hanya tergantung di depan ragaku. Kemudian api kecilnya yang teduh dan tidak menyilaukan itu mulai memasuki jiwaku. Aku terlena dengan cahayanya. Aku berharap itu akan jadi pijakanku selanjutnya. Aku tak bisa terus berharap. Akan ku ukir kembali cahaya itu menjadi sang surya yang mampu memberiku kehidupan. Tapi sekali lagi aku terpekur. Mencoba mencari tahu sekali lagi dengan berdialog denganMu, Tuhanku. Apakah ini cahaya yang suatu saat juga akan tersapu mendung dan padam oleh gerimis. Karena ku sadari angin sekitar mulai meniup tanpa kompromi. Aku mendapat petunjuk itu, tapi terlambat. Aku terlanjur mengambil intisari cahaya itu ke dalam ruh jiwaku. Terlalu lama ia bersemayam menghiasi rongga kosong kehidupanku.
            Kemudian, tepat saat tengah hari yang terik, angin itu tiba-tiba berhembus. Meniup cahya lentera yang sudah hampir bertransformasi menjadi cahaya surya. Tiba-tiba terik mentari yang membakar semangat itu berganti mendung gelap. Tiba-tiba. Tanpa ku tahu sebelumnya. Tanpa sempat aku melindungi jiwaku dengan payung-payung yang teduh. Aku dibasahi rintik gerimis, yang kemudian menjadi hujan. Hujan yang jatuh setiap hari tak bisa dibendung. Airnya membanjiri rasa traumatisku. Aku benci gerimis. Apalagi hujan yang tiba-tiba. Aku kembali mati suri. Tak bisa memaknai setiap cahaya yang datang.
            Tuhan…aku berdosa padamu. Mengapa aku menolak takdirmu? Mengapa aku benci gerimis dan hujan? Tapi aku manusia biasa, Tuhan. Yang Kau anugerahi ruh tak sempurna. Aku hanya pasrah dan kembali berdialog denganMu melalui keyakinanku.
            Aku mendapatkan payung yang teduh. Hujan pun mulai mereda. Aku hanya tak menyukai gerimis. Tapi hanya tak suka. Tidak lagi membencinya yang berlebihan. Aku hanya akan melihat gerimis sebagai tetesan yang tak menyakitkan. Aku akan melihat mendung sebagai warna abu-abu yang menarik disandingkan dengan beningnya air hujan.
            Sekarang aku menyukai sinar bulan yang ada di malam hari. Kalaupun gerimis ada di malam hari, aku pasti sudah terlelap dalam mimpi-mimpi indahku. Aku hidup dari terangnya bulan yang memantulkan sinar surya. Tidak panas, terik, menyengat, tapi cukup memberiku jembatan untuk mengukir indahnya malam dan akan berganti menjadi kobaran semangat kembali di pagi hari. Aku bersemayam dalam kehangatan sinar bulan itu. Meski bulan tidak selalu sempurna, tapi ia tetap bisa memberi sinar diantara bintang-bintang di sisinya. Aku merengkuhnya dalam dekapku.
            Tuhan, Kau sangat adil. Kau buatku belajar menjadi manusia yang mengenal berbagai ciptaMu. Aku tak menyukai gerimis. Tapi aku membenci dunia yang tak pernah dibasahi rintiknya. Akan ada musim kering yang panjang, kerontang, kemudian akan terjadi kelaparan yang menyiksa. Kelaparan yang membusungkan nafsu dan amarah. Aku berharap masih ada gerimis, meski rintiknya begitu senyap di jiwa, tapi tetesannya membuatku mengerti. Tak ada malam yang tak berakhir. Tak ada hujan yang tak reda.
            Aku. Perempuan yang tadinya membenci gerimis, kini sanggup berdiri di tengah hujan. Karena akan ada malam yang membuatku bermimpi dan pagi yang membuatku bergerak melaju.
Aku perempuan yang merengkuh sinar rembulan. Tak berambisi seperti matahari, tapi mampu memberikan pancaran yang sejati.
Aku merengkuhnya, bahkan sampai pijakanku yang timpang diambil juga olehNya. Dan penghubung genetika ku pun akan melihatku hidup bahagia. Apalagi yang akan ku cari?
Plur, Retknow,Sept2009
Untuk sinar bulan yang selalu membimbingku dalam kegelapan.
Untuk surya yang belum sempat bersinar yang memberiku pelajaran berharga
Untuk kedua pijakanku yang telah bahagia di sisiNya
Untuk penghubung genetikaku yang menjadi jembatan ku ada di dunia ini.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan