PEREMPUAN
YANG MEMBENCI GERIMIS
Kadang aku selalu berfikir logis.
Sungguh ingin aku ukir dalam-dalam sajak dari daratan China yang jika
kuterjemahkan ‘tak ada hujan yang tak berhenti.’ Aku ingin selalu memahat
pepatah itu di dalam pikiranku. Sungguh. Tapi rintik hujan selalu membuatku
pupus. Kegamangan membuatku tak bisa setegar itu. Gerimis. Seperti air mataku
saat melepaskan kebahagiaan itu pergi dari kehidupanku.
Gerimis pertama yang membuatku benci
adalah ketika aku melihat jiwaku mati. Mati. Ya…jiwaku mati saat itu. Ragaku
hidup. Kedua orang yang menjadi pedoman genetikaku memutuskan untuk pergi
meninggalkan ragaku yang masih belia. Meninggalkan onggokan jiwa yang mati.
Raga yang hidup hanya berdasarkan belas kasihan dan ketiadaan mata hati dari
kedua DNA yang mengawali sel-sel darah dalam detak jantung ini berirama. Mereka
telah pergi. Dan aku sendirian di tempat asing yang hanya berisi rasa belas kasihan.
Belas kasihan karena melihatku manusia yang masih lemah, kerdil. Belas kasihan
yang kemudian berhasil membawaku ke pergantian mendung menjadi cerah. Yang
memberiku pagi dan siang yang nyaman. Yang memberiku malam yang gempita. Hari
yang terus bergulir tanpa gerimis lagi. Mereka, yang memberiku nafas kehidupan
lebih lapang lagi. Aku terbangun dari mati suri ku. Aku bangkit dan melawan
gerimis itu.
Aku
terseok, mencoba berdiri, bangkit, kemudian berjalan pelan-pelan menuju cahaya
surya yang terang dan memberiku kehidupan sempurna.
Pada 2 ½
windu usiaku, tiba-tiba aku bertemu dengan mendung. Langit menjadi tak seterang
biasanya. Mendung mulai menggantung. Gelap mulai mereyap menjadi awan-awan
colombus di atas langit hidupku. Aku menatap cemas. Ya, akankah ada gerimis
kembali dalam hidupku? Akan adakah gerimis kah dalam waktu dekat ini? Ya…rintik
itu mulai turun. Langit bertambah gelap. Gulita menjadi semakin mencekam.
Tuhan, -Kau meminta satu pijakan hidupku kembali padamu. Aku pincang. Terseok,
rapuh, mencoba hidup. Tapi rintik hujan yang ku benci itu menetes bagaikan serangan
spontan yang tak bisa ku lawan. Tuhan…aku hanya mampu bersimpuh pada Mu.
memintaMu menjaganya dan mengampuni apa yang diperbuatnya dengan amalan-amalan
yang membuat jiwaku hidup kembali. –Kau benar, Tuhan. Ia milikmu, akan kembali
padamu.
Gerimis itu mulai mereda. Aku
kembali merangkak menyebrangi hujan, berharap masih ada siang dan terang yang
membuatku nyaman. Ya, aku menemukan lentera itu. Lentera yang awalnya hanya
tergantung di depan ragaku. Kemudian api kecilnya yang teduh dan tidak
menyilaukan itu mulai memasuki jiwaku. Aku terlena dengan cahayanya. Aku
berharap itu akan jadi pijakanku selanjutnya. Aku tak bisa terus berharap. Akan
ku ukir kembali cahaya itu menjadi sang surya yang mampu memberiku kehidupan.
Tapi sekali lagi aku terpekur. Mencoba mencari tahu sekali lagi dengan
berdialog denganMu, Tuhanku. Apakah ini cahaya yang suatu saat juga akan
tersapu mendung dan padam oleh gerimis. Karena ku sadari angin sekitar mulai meniup
tanpa kompromi. Aku mendapat petunjuk itu, tapi terlambat. Aku terlanjur
mengambil intisari cahaya itu ke dalam ruh jiwaku. Terlalu lama ia bersemayam
menghiasi rongga kosong kehidupanku.
Kemudian, tepat saat tengah hari
yang terik, angin itu tiba-tiba berhembus. Meniup cahya lentera yang sudah
hampir bertransformasi menjadi cahaya surya. Tiba-tiba terik mentari yang
membakar semangat itu berganti mendung gelap. Tiba-tiba. Tanpa ku tahu
sebelumnya. Tanpa sempat aku melindungi jiwaku dengan payung-payung yang teduh.
Aku dibasahi rintik gerimis, yang kemudian menjadi hujan. Hujan yang jatuh
setiap hari tak bisa dibendung. Airnya membanjiri rasa traumatisku. Aku benci
gerimis. Apalagi hujan yang tiba-tiba. Aku kembali mati suri. Tak bisa memaknai
setiap cahaya yang datang.
Tuhan…aku berdosa padamu. Mengapa
aku menolak takdirmu? Mengapa aku benci gerimis dan hujan? Tapi aku manusia
biasa, Tuhan. Yang Kau anugerahi ruh tak sempurna. Aku hanya pasrah dan kembali
berdialog denganMu melalui keyakinanku.
Aku mendapatkan payung yang teduh.
Hujan pun mulai mereda. Aku hanya tak menyukai gerimis. Tapi hanya tak suka.
Tidak lagi membencinya yang berlebihan. Aku hanya akan melihat gerimis sebagai
tetesan yang tak menyakitkan. Aku akan melihat mendung sebagai warna abu-abu
yang menarik disandingkan dengan beningnya air hujan.
Sekarang aku menyukai sinar bulan
yang ada di malam hari. Kalaupun gerimis ada di malam hari, aku pasti sudah
terlelap dalam mimpi-mimpi indahku. Aku hidup dari terangnya bulan yang memantulkan
sinar surya. Tidak panas, terik, menyengat, tapi cukup memberiku jembatan untuk
mengukir indahnya malam dan akan berganti menjadi kobaran semangat kembali di
pagi hari. Aku bersemayam dalam kehangatan sinar bulan itu. Meski bulan tidak
selalu sempurna, tapi ia tetap bisa memberi sinar diantara bintang-bintang di
sisinya. Aku merengkuhnya dalam dekapku.
Tuhan, Kau sangat adil. Kau buatku
belajar menjadi manusia yang mengenal berbagai ciptaMu. Aku tak menyukai
gerimis. Tapi aku membenci dunia yang tak pernah dibasahi rintiknya. Akan ada
musim kering yang panjang, kerontang, kemudian akan terjadi kelaparan yang
menyiksa. Kelaparan yang membusungkan nafsu dan amarah. Aku berharap masih ada
gerimis, meski rintiknya begitu senyap di jiwa, tapi tetesannya membuatku
mengerti. Tak ada malam yang tak berakhir. Tak ada hujan yang tak reda.
Aku. Perempuan yang tadinya membenci
gerimis, kini sanggup berdiri di tengah hujan. Karena akan ada malam yang
membuatku bermimpi dan pagi yang membuatku bergerak melaju.
Aku
perempuan yang merengkuh sinar rembulan. Tak berambisi seperti matahari, tapi
mampu memberikan pancaran yang sejati.
Aku
merengkuhnya, bahkan sampai pijakanku yang timpang diambil juga olehNya. Dan
penghubung genetika ku pun akan melihatku hidup bahagia. Apalagi yang akan ku
cari?
Plur,
Retknow,Sept2009
Untuk
sinar bulan yang selalu membimbingku dalam kegelapan.
Untuk
surya yang belum sempat bersinar yang memberiku pelajaran berharga
Untuk
kedua pijakanku yang telah bahagia di sisiNya
Untuk
penghubung genetikaku yang menjadi jembatan ku ada di dunia ini.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan