Isnin, 4 November 2019


SILUET 1 JUNI
1 Juni 2002
Tiba-tiba ia menepuk-nepuk kedua telapak tangannya pada celana jeansnya. Lalu tangan lembutnya terulur ke arahku.
            “Dzil.”
Aku terpaku menatap tak mengerti. Mahluk apa gerangan di depanku ini. Mata kecoklatan lebar, kulit putih, tinggi semampai, hidung hampir 70 derajat. Aku masih menatapnya tak mengerti.
            “Achmad Dzil Basyari.”
Aku menerima uluran tangannya sambil ternganga di tengah keterkejutanku sendiri. Mahluk itu mengikutiku sampai kesini. Ke tempat favoritku di kampus baru ku ini. Warkop. Mana kakiku menyilang dengan bandana polos warna hitam di kepala dan ikat dari kain di tangan kanan. Mirip preman pasar yang nyasar siang-siang.
            “maksud …..nya…”
Dia tersenyum. Busyet! Sorry ngumpat saking kagetnya. Lesung pipitnya melekuk sempurna dibingkai rahang indah ala ala drama Turki. Ini mahluk apa ya? Aku masih terdiam. Sementara dia dengan santainya duduk di depan ku. Tepatnya di depan kopi hitam kentalku yang sengaja ku balik gelasnya di alasi piring kecil.
            “Bagus banget puisinya. Suer! Namamu siapa tadi?”
Aku tersenyum masam. Cowok keren berwajah Arabian itu mengikutiku untuk ngasih reward puisi yang kubaca saat di hukum acara ospek tadi. Nggak penting. Tapi aneh. Aku menurunkan kakiku dan mengikuti arah tatapannya yang tiba-tiba terasa senyap. Seolah-olah memasukkan ku ke alur cerita panjang yang akan terjadi. Wadhuh gawat! Gawat! Aku cepat-cepat menghabiskan kopiku dan tersenyum ramah padanya lalu beranjak pergi sambil membayar kopiku yang ternyata….
            “Udah di bayar, Mbak.”
Mendapat jawaban singkat medok ala Jawa Timuran dari ibu penjaga warkop. Aku menoleh pada mahluk menakjubkan itu sesaat. Disana senyumnya mengembang dan dia pun mengikutiku melangkah keluar warkop. Gagal! Niat kabur yang gagal! Sial!
            “Nama situ siapa? “
Dia malah mengikutiku jalan kea rah kos ku.
            “hei..”
Aku berhenti sejenak sambil menyerahkan kartu opspek ku yang masih tergantung di leher. Ia menatap nama yang sudah menjadi darah daging dalam diriku itu dengan saksama. Berjarak beberapa centimeter dadaku bergetar hebat. Aroma vanilla yang manis menyeruak. Aku menarik nametake ku sambil jalan buru-buru. Ia hanya tersenyum di tempatnya. Aku sempat meliriknya sekilas. Untuk apa aku melirik? Tuhan! Ini apa namanya, ya? Aku geleng-geleng kepala menyadari alur cerita hari ini.
1 Juni 2004
“ Aku gagal menulis namamu di sini.”
Ia menunjuk dadanya tepat di tengahnya. Tempat jantungnya berdetak. Detak yang dulu membuatkan ku alur cerita indah. Aku menahan butiran bening yang nyaris keluar dari pelupuk mataku. Tuhan…Engkau telah mengirimkan mahluk sempurna ini dalam hidupku. Dan kini aku akan mengembalikannya pada taqdirnya. Mungkin. Sesuai  janjiku padaMu. Bahwa aku akan membuatnya menjadi dirinya. Menjalani kebahagiaan yang seharusnya dia miliki.
            Kami berpisah di tempat yang tak asing lagi. Kursi kayu bawah pohon. Warkop yang dulu tempat favoritku telah di gusur semester yang lalu untuk dijadikan taman fakultas. Tak pernah ada tangis atau derita saat bersamanya. Saat menjalani hari ku disisinya. Aku tak boleh terluka. Sedih. Bahkan sampai menumpahkan air mata.
            “Maaf.”
Kata yang tak pernah ia inginkan untuk ku ucapkan. Kata yang seharusnya tak ku ucapkan. Ia merengkuh tanganku ku di dadanya  . Aroma  vanilla menusuk hidungku. Mengingatkanku akan manisnya  saat-saat kami dalam satu waktu. Tak ada rasa apapun selain rasa yang tak bisa kami maknai. Aku denga aksen  kecuekanku. Dia dengan aksen ramah yang tidak berlebihan. Sabar. Tak ada kata ‘tidak’ dalam kamusnya untuk ku. Tak ada kata ‘bosan’ saat bersama ku. Sementara aku dengan kecuekanku          menanti bom waktu yang terus menggeliat perlahan dalam alur cerita kami.
            “Dirgahayu. Semoga bahagia.”
Ia melepas kacamata hitamnya yang menggantung sempurna di hidungnya yang memikat seluruh penghuni kampus ini. Yang dulu membuatku bersyukur bisa menatapnya  di note book ku saat kuliah. Yang membuat seluruh wanita-wanita di kampus menatapku iri.
            “Reyn…kamu akan bahagia?”
            “ya. Pasti.”
            “Syukron.”
Aku menatapnya. Sorot bola matanya sekarang memberitahuku kalau alur cerita kami sudah tamat. Sad Ending. Untuk yang terakhir aku menatapnya dari dekat. Bye… kisahku.

1 Juni 2028
Usai meeting dengan dewan senat kampus,Sebuah memo terselip di rangkaian bunga di meja kantor.  
CAFÉ DIOR 17.00. MEJA 10
EL TSAFIQ.
Aku menatapnya sesaat. Aroma vanilla yang khas. Aku pasti bermimpi. Tapi ini bukan  dia…. Ini hari ulang tahunnya.
Astaga! 16.50. Masih berbalut blazer abu-abu dan stiletto hitam ber heels sedang membuatku berjalan cepat menuju café yang tak jauh dari kampus tempatku mengajar. Ya Allah tidak! Ini bukan dia. Bukan. Dia koma seminggu yang lalu.
“Nama saya El Tsafiq Al Katiri.”
Aku menatap sorot matanya yang kecoklatan membuatku mengingat kembali alur cerita yang pernah terjadi.  Aku meraba hidungnya yang sempurna. Lesung pipit yang melekuk indah di dekat bibirnya. Pasti dia dilahirkan oleh mahluk suci yang juga sempurna. Subhanallah. Aku mundur dari hadapannya. Kami duduk bersebrangan berbackground langit ibukota yang mulai memerah.
            “Namaku Reyna. Adrenallien Reyna.”
            “Reyna Neurilemma Innasty. Umi banyak cerita tentang Anda. Syukron. Kata umi. “
Sahutnya sambil menatapku lekat-lekat.
            “Afwan.”
Kau sudah ada dalam bingkai kebahagiaan yang tepat. Keluarga yang bahagia. Amiin.
            Kami duduk di sebuah café di tengah ibukota yang sibuk sore ini. Aku menahan segala bentuk kesedihan. Air mata. Rasa haru. Yang ku lukiskan saat ini adalah senyum. Bahagia.
            “Abi titip ini.”
Dia menyerahkan goody bag kecil. Aku mengeluarkan kotak beludru merah maroon warna kesukaanku. Nampak sebuah kertas dan pulpen hero silver. Pulpen yang dulu pernah ku buang di tempat sampah kampus karena aku gagal dapat beasiswa.
            “Abimu, sehat?”
Lelaki di depanku menatapku sambil tersenyum. Senyum duplikat yang dulu menghiasi  mimpi-mimpi malamku.
            “Insya Allah. “
Tulisan di kertas itu singkat. Tapi membuat seluruh detak jantungku berhenti untuk sepersekian detik.
JIKA KAU BAHAGIA. TERSENYUMLAH. SYUKRON.
            Sejenak kami terdiam sambil memandangi senja.  Pangeran mu yang tampan bercerita semua. Semua yang terjadi selama ini. Seperti doa-doaku. Kau tak pernah bilang ‘tidak’ untukku. Ketika kau harus bahagia, kau selalu mendoakanku bahagia. Membuat kan ku ruang untuk bahagia. Tak memberi kesempatan untuk ku bersedih. Apalagi menitikkan air mata. Aku tak boleh melukai semua yang telah kau lakukan untuk ku. Aku memang sudah bahagia. Untuk itu aku tersenyum. Pangeran tampanmu berkata
            “kalau saya tidak membawa senyuman Anda, saya tidak bisa kembali ke Abi.”
Aku mengangguk dan menerima uluran tangan pangeranmu untuk segera mengakhiri pertemuan hari itu. Sekaligus melepas senja. Ia mengucapkan satu hal yang tak bisa ku lupakan
ANDA BOLEH PERCAYA CINTA. TAPI ANDA HARUS PERCAYA JODOH DAN TAQDIR.
            Kami berpisah senja itu diiringi senyum dan saling mendoakan.
Aku kembali ke rumahku. Bersama keluargaku. Kedua buah hatiku. Dewi-dewiku yang cantik. Yang selalu kubacakan dongeng tentang putri yang berhati lembut dan bertemu seorang pangeran tampan ber hati mulia. Aku bahagia dengan taqdir dan jodohku. Semua kisah yang menjadi tonggak hidupku menjadi berwarna. Aku titip salam untuk setiap mahluk Mu yang pernah menjadi pondasi kebahagiaanku melalui skenario indah Mu. Tuhan.
Syukron.

Setiap kisah pasti punya makna.
Setiap cerita utuh pasti punya ending.
Setiap keinginan pasti diakhiri taqdir.

Plur 2016.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan