SILUET 1 JUNI
1 Juni 2002
Tiba-tiba ia menepuk-nepuk kedua telapak
tangannya pada celana jeansnya. Lalu tangan lembutnya terulur ke arahku.
“Dzil.”
Aku
terpaku menatap tak mengerti. Mahluk apa gerangan di depanku ini. Mata
kecoklatan lebar, kulit putih, tinggi semampai, hidung hampir 70 derajat. Aku
masih menatapnya tak mengerti.
“Achmad Dzil Basyari.”
Aku
menerima uluran tangannya sambil ternganga di tengah keterkejutanku sendiri.
Mahluk itu mengikutiku sampai kesini. Ke tempat favoritku di kampus baru ku
ini. Warkop. Mana kakiku menyilang dengan bandana polos warna hitam di kepala
dan ikat dari kain di tangan kanan. Mirip preman pasar yang nyasar siang-siang.
“maksud …..nya…”
Dia
tersenyum. Busyet! Sorry ngumpat saking kagetnya. Lesung pipitnya melekuk
sempurna dibingkai rahang indah ala ala drama Turki. Ini mahluk apa ya? Aku
masih terdiam. Sementara dia dengan santainya duduk di depan ku. Tepatnya di
depan kopi hitam kentalku yang sengaja ku balik gelasnya di alasi piring kecil.
“Bagus banget puisinya. Suer! Namamu
siapa tadi?”
Aku
tersenyum masam. Cowok keren berwajah Arabian itu mengikutiku untuk ngasih
reward puisi yang kubaca saat di hukum acara ospek tadi. Nggak penting. Tapi
aneh. Aku menurunkan kakiku dan mengikuti arah tatapannya yang tiba-tiba terasa
senyap. Seolah-olah memasukkan ku ke alur cerita panjang yang akan terjadi. Wadhuh
gawat! Gawat! Aku cepat-cepat menghabiskan kopiku dan tersenyum ramah padanya
lalu beranjak pergi sambil membayar kopiku yang ternyata….
“Udah di bayar, Mbak.”
Mendapat
jawaban singkat medok ala Jawa Timuran dari ibu penjaga warkop. Aku menoleh
pada mahluk menakjubkan itu sesaat. Disana senyumnya mengembang dan dia pun
mengikutiku melangkah keluar warkop. Gagal! Niat kabur yang gagal! Sial!
“Nama situ siapa? “
Dia
malah mengikutiku jalan kea rah kos ku.
“hei..”
Aku
berhenti sejenak sambil menyerahkan kartu opspek ku yang masih tergantung di
leher. Ia menatap nama yang sudah menjadi darah daging dalam diriku itu dengan
saksama. Berjarak beberapa centimeter dadaku bergetar hebat. Aroma vanilla yang
manis menyeruak. Aku menarik nametake ku sambil jalan buru-buru. Ia hanya
tersenyum di tempatnya. Aku sempat meliriknya sekilas. Untuk apa aku melirik?
Tuhan! Ini apa namanya, ya? Aku geleng-geleng kepala menyadari alur cerita hari
ini.
1 Juni 2004
“ Aku gagal menulis namamu di sini.”
Ia
menunjuk dadanya tepat di tengahnya. Tempat jantungnya berdetak. Detak yang
dulu membuatkan ku alur cerita indah. Aku menahan butiran bening yang nyaris
keluar dari pelupuk mataku. Tuhan…Engkau telah mengirimkan mahluk sempurna ini
dalam hidupku. Dan kini aku akan mengembalikannya pada taqdirnya. Mungkin.
Sesuai janjiku padaMu. Bahwa aku akan
membuatnya menjadi dirinya. Menjalani kebahagiaan yang seharusnya dia miliki.
Kami berpisah di tempat yang tak
asing lagi. Kursi kayu bawah pohon. Warkop yang dulu tempat favoritku telah di
gusur semester yang lalu untuk dijadikan taman fakultas. Tak pernah ada tangis
atau derita saat bersamanya. Saat menjalani hari ku disisinya. Aku tak boleh
terluka. Sedih. Bahkan sampai menumpahkan air mata.
“Maaf.”
Kata
yang tak pernah ia inginkan untuk ku ucapkan. Kata yang seharusnya tak ku
ucapkan. Ia merengkuh tanganku ku di dadanya
. Aroma vanilla menusuk hidungku.
Mengingatkanku akan manisnya saat-saat
kami dalam satu waktu. Tak ada rasa apapun selain rasa yang tak bisa kami
maknai. Aku denga aksen kecuekanku. Dia
dengan aksen ramah yang tidak berlebihan. Sabar. Tak ada kata ‘tidak’ dalam
kamusnya untuk ku. Tak ada kata ‘bosan’ saat bersama ku. Sementara aku dengan
kecuekanku menanti bom waktu
yang terus menggeliat perlahan dalam alur cerita kami.
“Dirgahayu. Semoga bahagia.”
Ia
melepas kacamata hitamnya yang menggantung sempurna di hidungnya yang memikat
seluruh penghuni kampus ini. Yang dulu membuatku bersyukur bisa menatapnya di note book ku saat kuliah. Yang membuat
seluruh wanita-wanita di kampus menatapku iri.
“Reyn…kamu akan bahagia?”
“ya. Pasti.”
“Syukron.”
Aku
menatapnya. Sorot bola matanya sekarang memberitahuku kalau alur cerita kami
sudah tamat. Sad Ending. Untuk yang terakhir aku menatapnya dari dekat. Bye…
kisahku.
1 Juni 2028
Usai
meeting dengan dewan senat kampus,Sebuah memo terselip di rangkaian bunga di
meja kantor.
CAFÉ DIOR 17.00. MEJA 10
EL TSAFIQ.
Aku
menatapnya sesaat. Aroma vanilla yang khas. Aku pasti bermimpi. Tapi ini bukan dia…. Ini hari ulang tahunnya.
Astaga!
16.50. Masih berbalut blazer abu-abu dan stiletto hitam ber heels sedang membuatku
berjalan cepat menuju café yang tak jauh dari kampus tempatku mengajar. Ya
Allah tidak! Ini bukan dia. Bukan. Dia koma seminggu yang lalu.
“Nama
saya El Tsafiq Al Katiri.”
Aku
menatap sorot matanya yang kecoklatan membuatku mengingat kembali alur cerita
yang pernah terjadi. Aku meraba
hidungnya yang sempurna. Lesung pipit yang melekuk indah di dekat bibirnya.
Pasti dia dilahirkan oleh mahluk suci yang juga sempurna. Subhanallah. Aku
mundur dari hadapannya. Kami duduk bersebrangan berbackground langit ibukota
yang mulai memerah.
“Namaku Reyna. Adrenallien Reyna.”
“Reyna Neurilemma Innasty. Umi
banyak cerita tentang Anda. Syukron. Kata umi. “
Sahutnya
sambil menatapku lekat-lekat.
“Afwan.”
Kau
sudah ada dalam bingkai kebahagiaan yang tepat. Keluarga yang bahagia. Amiin.
Kami duduk di sebuah café di tengah
ibukota yang sibuk sore ini. Aku menahan segala bentuk kesedihan. Air mata.
Rasa haru. Yang ku lukiskan saat ini adalah senyum. Bahagia.
“Abi titip ini.”
Dia
menyerahkan goody bag kecil. Aku mengeluarkan kotak beludru merah maroon warna
kesukaanku. Nampak sebuah kertas dan pulpen hero silver. Pulpen yang dulu
pernah ku buang di tempat sampah kampus karena aku gagal dapat beasiswa.
“Abimu, sehat?”
Lelaki
di depanku menatapku sambil tersenyum. Senyum duplikat yang dulu menghiasi mimpi-mimpi malamku.
“Insya Allah. “
Tulisan
di kertas itu singkat. Tapi membuat seluruh detak jantungku berhenti untuk
sepersekian detik.
JIKA
KAU BAHAGIA. TERSENYUMLAH. SYUKRON.
Sejenak kami terdiam sambil
memandangi senja. Pangeran mu yang
tampan bercerita semua. Semua yang terjadi selama ini. Seperti doa-doaku. Kau
tak pernah bilang ‘tidak’ untukku. Ketika kau harus bahagia, kau selalu
mendoakanku bahagia. Membuat kan ku ruang untuk bahagia. Tak memberi kesempatan
untuk ku bersedih. Apalagi menitikkan air mata. Aku tak boleh melukai semua
yang telah kau lakukan untuk ku. Aku memang sudah bahagia. Untuk itu aku tersenyum.
Pangeran tampanmu berkata
“kalau saya tidak membawa senyuman
Anda, saya tidak bisa kembali ke Abi.”
Aku
mengangguk dan menerima uluran tangan pangeranmu untuk segera mengakhiri pertemuan
hari itu. Sekaligus melepas senja. Ia mengucapkan satu hal yang tak bisa ku
lupakan
ANDA
BOLEH PERCAYA CINTA. TAPI ANDA HARUS PERCAYA JODOH DAN TAQDIR.
Kami berpisah senja itu diiringi
senyum dan saling mendoakan.
Aku
kembali ke rumahku. Bersama keluargaku. Kedua buah hatiku. Dewi-dewiku yang
cantik. Yang selalu kubacakan dongeng tentang putri yang berhati lembut dan
bertemu seorang pangeran tampan ber hati mulia. Aku bahagia dengan taqdir dan
jodohku. Semua kisah yang menjadi tonggak hidupku menjadi berwarna. Aku titip
salam untuk setiap mahluk Mu yang pernah menjadi pondasi kebahagiaanku melalui
skenario indah Mu. Tuhan.
Syukron.
Setiap kisah pasti punya
makna.
Setiap cerita utuh pasti
punya ending.
Setiap keinginan pasti
diakhiri taqdir.
Plur 2016.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan